Jakarta, KPonline – Masyarakat menyambut antusias penambahan cuti bersama hari raya idul fitri. Kebijakan ini memungkinkan untuk berlibur lebih panjang. Khususnya bagi mereka yang mudik ke kampung halaman.
Penambahan cuti bersama ini tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2017 tentang Cuti Bersama Tahun 2017 (Kepres 18/2017) yang diterbitkan pada tanggal 15 Juni 2017. Disebutkan dalam Kepres 18/2017, cuti bersama Hari Raya Idul Fitri 1438 Hijriyah adalah tanggal 23, 27, 28, 29, dan 30 Juni 2017 (Jumat, Selasa, Rabu, Kamis dan Jumat).
Sebelumnya, berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 684 Tahun 2016, Nomor 302 Tahun 2016 dan Nomor SKB/02/Menpan-RB/2016 pada 21 November 2016 tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2017, cuti bersama untuk hari raya idul fitri hanya pada tanggal 27, 28, 29, dan 30 Juni 2017 (Selasa, Rabu, Kamis dan Jumat).
Permasalahannya adalah, di dalam Kepres 18/2017 tersebut ditegaskan, cuti bersama sebagaimana dimaksud di atas tidak mengurangi hak cuti tahunan pegawai negeri sipil.
Tentu saja, ini meninggalkan tanda tanya untuk kita. Mengapa kebijakan ini hanya untuk pegawai negeri sipil? Bagaimana dengan pegawai swasta, para honorer, atau siapa saja mereka tidak berstatus sebagai PNS? Tegas kita katakan, bahwa ini adalah kebijakan diskriminatif. Sama-sama pekerja, mengapa diperlakukan beda.
Diskriminasi ini semakin terasa dengan lahirnya Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 184 Tahun 2017 tentang Pedoman Pelaksanaan Cuti Bersama di Sektor Swasta Tahun 2017 (Kepmenaker 184/2017). Disebutkan dalam keputusan ini, pekerja/buruh yang melaksanakan cuti pada hari cuti bersama, hak cuti yang diambilnya diperhitungkan dengan mengurangi hak atas cuti tahunan pekerja/buruh yang bersangkutan. Dengan kata lain, bagi pekerja/buruh, diambil dari cuti tahunan. Apakah ini adil?
Hal yang lain, jika dalam Kepres 18/2017 disebutkan bahwa cuti bersama terkait hari raya idul fitri adalah mutlak, tetapi dalam Kepmenaker 184/2017 masih ada klausul yang mengatakan, pelaksanaan cuti bersama dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan operasional perusahaan. Maka bisa saja, dengan dalih ini, pengusaha tidak bersedia meliburkan karyawannya.
Sebelumnya, di beberapa perusahaan, pekerja yang masuk pada saat cuti bersama ini dihitung lembur. Sehingga pekerja mendapatkan penghasilan lebih. Tetapi dengah adanya Kepmenaker, nampaknya hal itu akan sulit terjadi. Karena pekerja yang masuk bekerja, tetap dihitung seperti hari biasa.
Tentu saja, kita menyayangkan kebijakan yang diskriminatif ini. Sudah selayaknya kaum buruh membuat protes keras.
Belajar dari sejarah keberadaan THR yang pada awalnya bersifat diskriminatif, khusus untuk pegawai negeri.
Mari kita lihat. Tahun 1943, pada masa pendukan Jepang, pernah ada istilah “Hadiah Lebaran” bagi pegawai negeri. Ketika Indonesia merdeka, sebagaimana diberitakan tirto.id (12/6/2017), pada 1954, sudah ada “Persekot Hari Raja” yang kala itu hanya bisa dinikmati pegawai negeri. Persekot itu keluar dengan dalil Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 1954, tanggal 19 Maret 1954, tentang Pemberian Persekot Hari Raja Kepada Pegawai Negeri. Karena istilahnya persekot, uang itu hanya bersifat uang muka pinjaman kepada pegawai dan setelahnya harus dikembalikan.
Saat itu kaum buruh bergerak. Mereka menuntut pemerintah agar dikeluarkan aturan yang menyatakan bahwa THR bersifat wajib. Dapat dipaksakan pelaksanaannya.
Lahirlah istilah “Hadiah Lebaran” berdasar Surat Edaran nomor 3676/54 yang dikeluarkan Menteri Perburuhan S.M. Abidin dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Besarannya, “seperduabelas dari upah yang diterima buruh dalam masa antara lebaran sebelumnya dan yang akan datang, sekurang-kurangnya 50 rupiah dan sebanyak-banyaknya 300 rupiah.”
Sayangnya surat edaran tidak punya kekuatan hukum. Untuk itulah, serikat buruh terus menuntut THR menjadi hak. Perjuangan mereka menang. Kemudian Ketika Ahem Erningpraja menjadi Menteri Perburuhan dalam Kabinet Kerja II (18 Februari 1960 hingga 6 Maret 1962), THR wajib dibayarkan dan menjadi hak buruh dengan masa kerja sekurang-kurangnya 3 bulan kerja. Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perburuhan nomor 1/1961 yang dikeluarkan oleh Ahem.