Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia (10) : Gerakan Buruh Pasca Kemerdekaan

Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia (10) : Gerakan Buruh Pasca Kemerdekaan

Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, pada tanggal 15 September 1945, sejumlah tokoh gerakan buruh berkumpul di Jakarta untuk membicarakan peranan kaum buruh dalam perjuangan kemerdekaan dan menentukan landasan bagi gerakan buruh.

Pada pertemuan tersebut para wakil gerakan buruh sepakat mendirikan sebuah organisasi yang mewakili seluruh serikat buruh yang ada. Organisasi itu diberi nama Barisan Boeroeh Indonesia (BBI) yang mendapatkan dukungan dari pemerintah.

Bacaan Lainnya

Dalam perjuangan fisik, kaum buruh bergabung dalam Laskar Boeroeh Indonesia (LBI) yang dengan cepat didirikan di berbagai kota. Pada awalnya belum ada koordinasi yang jelas, sampai pada sebuah konperensi di Blitar pada bulan Desember 1945. Soediono Djojoprajitno terpilih sebagai ketua badan pimpinan. LBI ini juga ditetapkan sebagai badan yang secara organisasi terlepas dari BBI dan tidak memiliki hubungan apa-apa.

Di kalangan buruh perempuan, didirikan Barisan Boeroeh Wanita yang diketuai oleh SK Trimurti (yang kemudian menjadi menteri perburuhan). Kegiatannya ditujukan untuk memberi pendidikan dan kesadaran pada kaum buruh perempuan, dan terhadap perlunya persatuan.

Dalam kongres pertama, BBI diusulkan untuk berubah menjadi Partai Boeroeh Indonesia (PBI). Walau kongres memutuskan BBI melebur kedalam PBI yang diketuai oleh Sjamsju Harja Udaja, namun karena timbul perdebatan, akhirnya konferensi PBI di Blitar menyetujui untuk menghidupkan kembali BBI.

Dalam kegiatannya, PBI menyebarkan gagasan sindikalis; instalasi industri yang diambilalih oleh buruh harus tetap dipegang oleh buruh, dan bukan oleh pemerintah. Perusahaan harus dijalankan kembali oleh buruh-buruhnya. Sikap bertentangan ditunjukkan oleh Partai Sosialis yang menguasai kabinet (Sjahrir) dan akibatnya PBI tidak mendapat sambutan luas sebagaimana mereka harapkan sebelumnya. Kelas buruh (industri) pada masa itu masih merupakan bagian kecil saja dari penduduk dan belum terorganisir secara politik, sehingga terlalu kecil untuk menjadi basis politik yang benar-benar kuat.

Pada periode-periode 1945-1947 sejumlah serikat buruh kembali dibentuk, seperti Serikat Boeroeh Goela (SBG), Serikat Boeroeh Kereta api (SBKA), Serikat Boeroeh Perkeboenan Repoeblik Indonesia (Sarbupri), Serikat Boeroeh Kementrian Perboeroehan (SB Kemperbu), Serikat Boeroeh Daerah Autonom (SEBDA), Serikat Sekerjdja Kementrian Dalam Negeri (SSKDN), Serikat Boeroeh Kementrian Penerangan (SB Kempen), dan sebagainya. Banyak di antara pemimpin serikat-serikat buruh ini menjadi tokoh gerakan buruh pada masa sebelumnya, dan juga ikut dibuang oleh pemerintah Hindia Belanda.


Selain berdirinya banyak organisasi serikat buruh dan partai buruh, kebangkitan gerakan buruh juga ditandai dengan dimulainya perayaan hari buruh internasional (May Day) pada 1 Mei 1946, dan ditetapkannya hari tersebut sebagai hari libur nasional oleh pemerintah. Pendapat-pendapat buruh juga jarang diabaikan pemerintah, bahkan organisasi-organisasi buruh selalu dilibatkan dalam mengambil keputusan.
Dengan banyaknya serikat buruh yang lahir, kembali muncul keperluan mendirikan sebuah federasi serikat buruh. Mengenai pembentukan federasi serikat buruh ini muncul perbedaan pendapat, sehingga pada tanggal 21 Mei 1946 didirikan Gaboengan Serikat-Serikat Boeroeh Indonesia (GASBI) sebagai hasil peleburan BBI.

Perubahan nama ini juga terlihat dalam perubahan bentuknya, karena hanya organisasi yang dibentuk berdasarkan lapangan kerja yang dapat bergabung di dalamnya. Kenyataan ini sulit diterima oleh organisasi buruh vertikal, seperti SB Minjak, SB Postel, Pegadaian, PGRI, Listrik dan lainnya. Mereka kemudian membentuk Gaboengan Serikat Boeroeh Vertikal (GSBV) pada bulan Juli 1946.

Namun perpecahan ini tak berlangsung lama dan tanggal 29 November 1946 didirikan Sentral Organisasi Boeroeh Indonesia (SOBSI), yang menggantikan kedua federasi sebelumnya. LBI yang semula berdiri sendiri pun kemudian masuk ke dalam SOBSI. Organisasi ini dipimpin oleh tokoh-tokoh gerakan buruh seperti Harjono, Asrarudin, Njono dan Surjono. Organisasi ini juga mendapat dukungan dari sejumlah kekuatan politik seperti Partai Sosialis, PBI, Pesindo, Barisan Tani yang mendukung pemerintahan Sjahrir di masa itu. Dalam azas pendiriannya dinyatakan bahwa SOBSI bukan partai politik, tapi dalam perjuangannya akan bekerjasama dengan partai-partai politik. SOBSI pada dekade 1950 sampai 1960-an menjadi federasi serikat buruh terkuat di Indonesia, baik dari segi jumlah maupun aktivitasnya.

Perpecahan sesudah Perjanjian Renville tidak dapat dihindari karena adanya perbedaan pendapat dalam garis politik. Golongan yang tidak setuju dengan pemerintahan Sjahrir akhirnya membentuk Gaboengan Serikat Boeroeh Revoloesioner Indonesia (GASBRI) yang kemudian menjadi SOBRI.

Dalam situasi negara yang menentang imperialisme, organisasi-organisasi buruh terus bermunculan. Selain di Jawa, organisasi-organisasi buruh juga bermunculan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, baik dalam bentuk serikat buruh perusahaan, sektor usaha, maupun federasi.

Disamping urusan pabrik yang mereka hadapi sehari-hari, kaum buruh juga terlibat dalam aktivitas politik. Contohnya protes yang mereka lakukan dalam kasus Irian Barat. Tidak kurang dari satu juta buruh turun melakukan protes pada akhir tahun 1957 sehubungan dengan masalah Irian Barat. Secara bertahap, organisasi-organisasi buruh akhirnya memiliki kecenderungan politik masing-masing, sebagai buah dari era kebebasan berpolitik pasca kemerdekaan.

Buruh yang terlibat dalam organisasi di tahun 1950-an tercatat jumlahnya mencapai antara 3-4 juta orang. Kaum buruh ini bergabung di bawah sekitar 150 serikat buruh nasional, dan ratusan serikat buruh lainnya di tingkat lokal, yang tak memiliki afiliasi di tingkat nasional.

Kebesaran organisasi gerakan buruh saat itu turut menghasilkan perundang-undangan perburuhan yang amat berpihak pada kaum buruh, semisalnya UU No. 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan dan UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yang merupakan UU yang dikenal di Asia sebagai UU pro buruh.Federasi serikat buruh yang terbesar saat itu beserta kecenderungan politik didalamnya adalah :

1. SOBSI dengan anggota sekitar 60% dari seluruh jumlah buruh yang terorganisir. Federasi ini memiliki organisasi yang baik, dan paling efisien dari segi administrasi. Seperti diketahui, federasi ini dibentuk ditahun 1946, ketika Indonesia sedang berada dalam perang kemerdekaan. Kementerian Perburuhan di tahun 1956 menyatakan federasi ini memiliki 2.661.970 anggota. Organisasi ini memiliki hubungan erat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang kembali ke panggung politik pada tahun 1951 di bawah pimpinan Dipa Nusantara Aidit. SOBSI terdiri atas 39 serikat buruh nasional dan sekitar 800 serikat buruh lokal. Di antaranya juga yang cukup penting adalah SBG, Sarbupri, Sarbuksi (Kehutanan), SBPP (Pelabuhan), SBKA, SBKB (Kendaraan Bermotor), SERBAUD (Angkatan Udara), SB Postel, Perbum (Minyak), SBTI (Tambang), SBIM (Industri Metal), SBRI (Rokok), Sarbufis (Film), SBKP (Kementerian Pertahanan), Kemperbu, SBPU (Pekerjaan Umum), SEBDA, dan SBPI (Percetakan). SOBSI juga memiliki afiliasi dengan World Federation of Trade Unions (WFTU). Njono yang menjadi Sekretaris Umum SOBSI juga menjabat sebagai Wakil Presiden WFTU.

2. Kesatuan Buruh Seluruh Indonesia (KBSI), yang didirikan pada tanggal 12 Mei 1953 . Jumlah anggotanya saat pembentukan mencapai 800. 000 orang, tapi segera berkurang seiring dengan terjadinya perpecahan di tingkat kepemimpinannya. KBSI memiliki hubungan dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Serikat buruh yang menjadi pendukung federasi ini adalah PERBUPRI (perkebunan), PBKA (kereta api), SKBM (minyak), SBP (pertambangan), SBKPM (penerbangan), OBPSI (perniagaan). Organisasi ini tak memiliki afiliasi dengan organisasi buruh internasional, dan amat terbatas kegiatannya pada hal-hal yang berhubungan dengan keadilan sosial.

3. Serikat Buruh Islam Indonesia (SBII) didirikan di bulan November 1948 oleh tokoh-tokoh Partai Islam, Masyumi yang menyadari pentingnya gerakan organisasi buruh sebagai basis pendukung partai. Pada tahun 1956 anggotanya diklaim sebanyak 275.000 orang dari berbagai bidang pekerjaan. Pimpinan SBII ini dipegang oleh Mr. Jusuf Wibisono, anggota Presidium Masyumi dan pernah menjadi Menteri Keuangan. Sesuai dengan nama yang disandang, organisasi ini melandaskan gagasannya pada ajaran-ajaran Quran. SBII ini memiliki afiliasi dengan International Conference of Free trade Unions (ICFTU). Selain itu SBII juga mengadakan kontak dengan gerakan buruh di negara-negara Islam.

4. Kesatuan Buruh Kerakjatan Indonesia (KBKI) didirikan pada tanggal 10 Desember 1952. Organisasi ini semula bernama, Konsentrasi Buruh Kerakjatan Indonesia, dan memiliki hubungan dengan Partai Nasional Indonesia. Dalam salah satu pernyataannya tertulis bahwa organisasi ini bekerja bersama PNI dalam mencapai tujuan-tujuannya. Azas yang melandasi organisasi ini adalah Marhaenisme (ajaran Soekarno). Pada tahun 1955 organisasi ini mengklaim memiliki anggota sebanyak 95.000 orang. KBKI ini juga adalah anggota PNI, dan keberhasilan KBKI dalam menggalang kekuatan (ditahun 1958 ditaksir jumlah anggotanya lebih dari setengah juta orang) tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan PNI. Walaupun berhubungan dengan gerakan buruh di luar negeri, dan turut berpartisipasi dalam aktivitas internasional, KBKI tetap memilih tidak bergabung dengan organisasi internasional.

5. Himpunan Serikat Buruh Indonesia (HISBI) yang didirikan di tahun 1952. Organisasi ini didirikan oleh para aktivis gerakan buruh yang dekat dengan tokoh-tokoh partai buruh. Pada tahun 1955, anggotanya mencapai 413. 975 orang. Pada perkembangan selanjutnya seiring dengan keberhasilan KBKI dan SOBSI, jumlahnya terus menurun dan di tahun 1958 tercatat sekitar 50. 000 orang.

6. Sentral Organisasi Buruh Republik Indonesia (SOBRI) yang menjadi gerakan buruh dari Partai Murba. Ketika dibentuk di tahun 1951, organisasi ini mengklaim anggotanya mencapai 469. 490 orang. Sama seperti HISBI, organisasi ini juga kalah bersaing dengan SOBSI dan KBKI, sehingga pada tahun 1958 tercatat anggota sebanyak 100. 000 orang. Sjamsu Haja Udaja yang pernah tercatat sebagai aktivis BBI menjadi salah satu pimpinan organisasi ini. SOBRI juga berafiliasi dengan World Federation of Trade Unions (WFTU).

7. Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) yang didirikan di bulan September 1949 oleh 19 serikat buruh, termasuk PGRI dan SBDA. GSBI yang semula bergabung di bawah KBSI, kemudian keluar dan tetap bertahan sendiri di bawah Rh. Koesnan. Tahun 1958 tercatat anggotanya sebanyak 36. 000 orang.

8. Selain federasi-federasi diatas, partai-partai politik pemilu 1955 juga banyak yang ikut mendirikan serikat-serikat buruh. Nahdlatul Ulama (NU) misalnya, mendirikan Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (SARBUMUSI) sebagai serikat buruh vertikal yang bernaung di bawah panji-panji NU. Golongan Katolik mendirikan Sentral Organisasi Buruh ‘Pancasila”

Baca Juga : Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia (9) : Buruh Dan Revolusi 1945

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.