Jakarta, KPonline – Pada prinsipnya, buruh mendukung adanya Undang-undang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera). Apalagi, saat ini rumah sudah menjadi barang mewah bagi buruh dan masyarakat kalangan menengah bawah. Sehingga keberadaan regulasi yang bertujuan untuk mempermudah masyarakat dalam memiliki rumah harus kita dukung.
Bayangkan, harga rumah sederhana tipe 27 atau 30 sudah mencapai Rp 120 jutaan. Dengan uang muka 30 persen, untuk bisa membeli rumah, harus tersedia uang sebesar Rp 36 juta.
Pertanyaannya kemudian, siapa buruh atau masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang mempunyai uang sebesar itu? Rasanya tidak ada.
Maka tidak mengherankan jika pada akhirnya membeli rumah menjadi mimpi. Belum lagi harus mencicil setiap bulan dengan jangka waktu 10 sampai 15 tahun. Dibutuhkan anggaran antara Rp 1,2 juta hingga Rp 1,5 juta per bulan.
Buruh di DKI Jakarta, misalnya. Dengan upah mínimum sebesar Rp 3,1 juta per bulan, cicilan yang harus dibayar setiap bulan sangatlah memberatkan. Karena lebih dari 40 persen gaji mereka akan habis hanya untuk membayar cicilan rumah. Lalu darimana biaya untuk makan, sekolah anak, transportasi, dan lainnya?
Tidak bisa dipungkiri, buruh, MBR, dan masyarakat kelas menengah bawah membutuh rumah yang murah, bersih, nyaman. Pada konteks itulah, program Tapera menjadi solusinya. Apalagi ini merupakan bagian dari tanggung jawab negara untuk menyediakan tempat tinggal untuk rakyat.
Namun demikian, buruh tidak setuju dengan isi UU Tapera karena penuh ketidakjelasan. Apalagi ada kesan, Pemerintah dan DPR hanya mengumpulkan uang rakyat melalui iuran, kemudian developer yang akan menangguk untung besar dengan jualan rumah “wajib” melalui Undang-undang. Cara ini, menurut saya ngawur dan tidak tepat.
Meskipun tidak setuju dengan isi UU Tapera, tetapi buruh menolak sikap pengusaha (Apindo dan Kadin) yang belum apa-apa sudah menolak UU Tapera, tanpa memberikan solusi bagaimana agar buruh dan MBR bisa punya rumah. Apabila berbicara mengenai peningkatan kesejahteraan buruh, dari dulu mereka selalu menolak. Sebagai contoh, mereka menolak UU BPJS, tidak bersedia ikut program pensiun, menolak kenaikan upah layak, dan sebagainya. Sehingga ada kesan, pengusaha tidak mau ambil pusing ketika para buruh tinggal di kontrakan sempit dan kumuh, serta puluhan tahun bekerja sampai tua di perusahaan, tetapi ketika pensiun buruh tetap tidak punya rumah.
Oleh karena itu, KSPI menuntut pemerintah untuk menjalankan program Tapera. Namun begitu, UU Tapera harus direvisi terlebih dahulu, dan pembahasan peraturan pelaksanaanya harus mengajak serikat buruh dan Apindo.
Konsep Tapera yang hendak ditawarkan buruh adalah sebagai berikut:
Pertama, besarnya iuran tidak boleh memberatkan buruh, MBR dan pengusaha. Disamping tidak memberatkan, nilainya juga harus seimbang. Apabila buruh mengiur 1 persen per bulan, maka pengusaha juga harus mengiur 1 persen. Buruh tidak perlu khawatir dengan adanya iuran. Karena iuran disini adalah tabungan sosial, bukan asuransi. Sehingga tidak perlu khawatir uangnya akan hilang. Asumsinya, dengan menabung 1 persen, tetapi akan mendapatkan 2 persen.
Kedua, peserta Tapera adalah seluruh buruh tanpa terkecuali. Termasuk buruh penerima upah mínimum, serta buruh informal yang bahkan penghasilannya dibawah upah minimum. Jangan dibatasi dengan kelompok buruh dengan upah tertentu yang nilainya diatas upah minimum. Hal ini, karena, prinsip Tapera adalah untuk membantu masyarakat tidak mampu.
Ketiga, iuran Tapera bisa diambil setelah 10 tahun kepesertaan, bukan saat buruh pensiun. Dengan kata lain, setelah mencapai 10 tahun kepesertaan, iuran Tapera dapat diambil. Dana ini bisa digabung dengan 30 persen Jaminan Hari Tua (JHT). Jika dana Tapera dan JHT digabung, bisa digunakan untuk membayar uang muka dan cicilan per bulan. Saat memasuki masa pensiun, buruh bisa dipastikan punya rumah. Karena itu, Badan Pengelola Tapera harus memastikan rumah dalam kondisi “ready stock”.
Keempat, kumpulan iuran Tapera tidak boleh diinvestasikan dalam bentuk apapun, kecuali hanya untuk dana membangun rumah. Saya menyarankan, dana tersebut harus ditaruh di BTN sebagai bank khusus perumahan.
Kelima, dana Tapera tidak boleh dikelola langsung oleh Kemenpera, karena melanggar konstitusi. Kementerian tidak boleh mengelola langsung dana rakyat. Iuran tidak boleh masuk APBN. Oleh karenanya harus dibentuk Badan Pengelola khusus semacam “BPJS Rumah” dibawah Presiden dengan menunjuk Perumnas sebagai kontraktor yang membangun rumah. Sebagai alternatif lain, boleh saja program Tapera dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan sebagai program kelimanya.
Keenam, karena dana Tapera yang terkumpul akan sangat besar, wajib dibentuk Dewan Pengawas Tapera dari unsur serikat buruh, apindo, serta wakil dari pemerintah. Dari hitung-hitungan sederhana, apabila total iuran untuk satu orang adalah 3 persen per bulan x 12 bulan x Rp 2 juta (upah rata-rata) x 44 juta buruh formal (data BPS Tahun 2015), dihasilkan dana sebesar Rp 2,7 Trilyun per bulan. Setahun, terkumpul dana sebesar Rp 32 Trilyun. Dengan dana sebesar ini, bisa dibangun 1 juta rumah pertahun.
Ketujuh, selain iuran dari buruh dan pengusaha, pemerintah wajib juga mengiur dalam bentuk penyertaan modal awal, subsidi kredit konstruksi, subsidi bunga khusus untuk tapera, dan sebagainya.
Kedelapan, menyatukan semua anggaran pemerintah dari APBN yang selama ini ada. Seperti pragram Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), suku bunga subsidi, dan sebagainya, kedalam satu dana “account” Tapera. Sehingga bisa dikontrol dan sekaligus menghindari potensi adanya korupsi.
Kesembilan, harus dipastikan, saat buruh dan MBR memasuki usia pensiun, mereka sudah memiliki rumah yang ready stock dengan harga rumah yang murah, sehat, nyaman, dan tersedia transportasi umum yang memadai. Ini mirip dengan yang dilakukan terhadap PNS dan TNI Polri dalam program Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Taperum).
Kesepuluh, yang paling penting adalah, agar buruh dan MBR mempunyai kemampuan membayar iuran Tapera, maka kebijakan upah murah harus ditinggalkan. Caranya adalah dengan mencabut PP Nomor 78 Tahun 2015, sehingga upah buruh menjadi layak, dan pada akhirnya buruh mampu mengiur.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, buruh mendesak agar UU Tapera direvisi terlebih dahulu. Disamping itu, pembuatan Peraturan Pemerintah sebagai turunan dari Undang-undang tersebut harus ditunda dan tidak dilakukan dengan terburu-buru.
Selanjutnya, buruh mendesak Pemerintah dan DPR mengajak serikat buruh dan apindo kadin untuk membahas revisi UU Tapera dan peraturan pendukungnya, sehingga program ini bisa berjalan dan tidak memberatkan semua pihak. (*)
Presiden KSPI: Said Iqbal
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/saidiqbal/10-syarat-agar-tapera-disetujui-buruh_56ecac49509373300579589a