Mojokerto, KPonline – “Menjadi relawan itu bukan sebuah cita-cita. Terlalu tinggi juga kalau disebut panggilan jiwa”. Suaranya berat membuka obrolan, sore itu di teras gubuk yang menjadi surganya.
Dengan mengerutkan kening, hendak menyela. Sepengetahuan umum, ia relawan dengan jumlah paling banyak dan paling sering mendapatkan keluhan atau pengaduan dari peserta BPJS di daerahnya.
“Karena menjadi relawan itu atas buah kesadaran dan kepedulian. Menjadi manusia yang berguna dan ikhlas memberi kebaikan. Tidak bisa di paksa dan tidak mencari apa-apa,” ucapnya sembari menuang air dari kendi yang sederhana.
Kesederhanaan itu jelas tergambar dari rumah, perabotan serta pakaian yang ia kenakan. Apa relawan harus sederhana? Bentuk pengabdian pada negeri?
Seakan membaca pikiran, ia menyambung. “Relawan jaminan sosial itu tidak mengabdi. Sebab pengabdian itu mengharuskan di apresiasi. Relawan tidak butuh itu, yang mereka butuhkan adalah komitmen dan koreksi atas celah implementasi”.
Benar juga. Munculnya kendala dan aduan peserta, tentunya membutuhkan komitmen dan koreksi para pihak atas pelaksanaan yang mungkin menyimpang. Temuan dan fakta itu bisa jadi kasuistik atau bahkan sistemik. Tanpa itu, kasus akan terus terulang. Adanya celah sistem juga memungkinkan oknum bermain.
Sambil menyodorkan air, ia melanjutkan. “Relawan itu dididik dari pengalaman, dibesarkan di lapangan dan dibimbing oleh keyakinan. Jangankan manusia, sistem pun juga punya kekurangan. Relawan hanya jembatan menyeimbangkan antara hak dan kewajiban.”
Tidak ada manusia sempurna, begitu halnya sistem. Relawan mengupayakan antara kewajiban peserta selaras dengan hak layanan yang prima dan paripurna. Mereka berdiri ditengah-tengah. Tidak mencari penghargaan apalagi keuntungan.
“Jika ingin mengetahui baik buruknya pelaksanaan BPJS secara netral, tanyalah para relawan. Jangan tanya yang lain. Mereka lebih paham apa yang terjadi di lapangan dan apa yang dirasakan oleh peserta,” ujarnya seakan mengusik rasa penasaran.
Beberapa relawan Jamkeswatch Jawa Timur, saat melakukan kunjungan advokasi di salah satu kediaman masyarakat.
Ia pun berdiri, melangkah untuk mengambil map tebal kusam dari tumpukan kertas. Setelah mengelap debu yang menempel lalu menyerahkan.
“Ini adalah keluhan dan aduan peserta pada pelaksanaan jaminan sosial. Ada permasalahan kasuistik, ada pula yang sistemik. Relawan hanya membantu kordinasi dan mengawal implementasi. Tidak mudah memang, namun bukan berarti tidak bisa,” katanya datar.
Karena sedari tadi diam, aq pun mengajukan pertanyaan. “Aduan dan kasus apa yang paling sering atau banyak terjadi?”
“Tentu saja manfaat pelayanan, sebab itulah keuntungan yang ditawarkan oleh jaminan sosial. Lalu soal kepesertaan karena itu kewajiban, kemudian tentang penjaminan dan iuran,” jawabnya singkat.
“Lalu hal apa yang jarang dipermasalahkan namun harusnya penting diketahui peserta?” Tanyaku menyahut.
“Penggunaan dana, perlindungan data dan arah kebijakan,” jelasnya sambil tersenyum penuh arti.
Tidak dipungkiri, ketiga hal itu bak sebuah misteri bagi peserta. Jarang diungkap perputaran dana triliunan, kadang taunya peserta tiba-tiba anggaran timpang, sehinga iuran dinaikkan. Belum lagi data ratusan juta, entah jumlah peserta, pelayanan ataupun pemanfaatan lain yang berpotensi terjadi gangguan atau kebocoran.
Perihal arah kebijakan, jaminan sosial ibarat perahu di lautan. Tergantung nahkoda dan hembusan angin pemerintahan. Sistem kesehatan, sistem keuangan, sistem ketenagakerjaan, perkembangan teknologi dan seambrek hal lainnya yang tidak terpisahkan.
“Apa harapan relawan untuk jaminan sosial?” Tanyaku memecah keheningan setelah terdiam beberapa saat tenggelam dalam pikiran masing-masing.
“Hemmm…,” Nafas berat dia hembuskan. “Tidak banyak. Kembali ke filosofi, dasar dan tujuan jaminan sosial itu sendiri.”
“Jaminan sosial adalah kebanggaan, pondasi dan tujuan bernegara serta investasi masa depan untuk kemandirian dan martabat bangsa.”
“Relawan tidak ingin bermimpi tinggi. Pantaskah mereka berharap, jika para pihak hanya sekedar mengucap tapi tidak bersikap? Haruskah relawan jaminan sosial yang menanggung beban pelaksanaan yang bisa jadi disengaja atau dibiarkan terjadi?” Katanya balik bertanya memantik pemikiran.
“Sampai kapan menjadi relawan?” Buru-buru aku luruskan pertanyaan.
“Sampai kapan…..,” Gumamnya mengulang sambil memegang dagu. “Tidak ada yang tahu sampai kapan. Relawan selalu berdiri di belakang layar. Mewaspadai kemungkinan jaminan sosial bisa menyimpang dan menjerumuskan. Mereka tidak diangkat juga tidak bisa dipecat.”
“Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi mereka tahu apa yang akan dilakukan jika hal itu terjadi,” Terangnya menerawang keluar menerobos banner politik dan partai yang menjadi dinding yang sudah berlubang.
Kami kembali terdiam. Sama-sama menatap keluar antrian panjang pembagian sembako dan nasi gratisan. Mereka mungkin bisa makan, seperti para relawan. Namun tidak ada yang menjamin kesejahteraan dan perlindungan ke depan. Bagaimana jaminan sosial yang kau inginkan?
Majapahit, 30 September 2024
Kesaktian Pancasila
Kesaksian Jaminan Sosial
Ipang Sugiasmoro