Oleh: Kahar S. Cahyono
Jika kekuatan buruh yang terorganisir itu bertransformasi menjadi partai politik, kekuatan politik mana yang bisa menandingi?
.
Dalam tulisan terdahulu, saya menyampaikan pemaparan Ilhamsyah dalam Seminar tentang Politik Buruh yang diselenggarakan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Dalam seminar itu, pria yang akrab disapa Boing ini menyampaikan jawaban atas sebuah pertanyaan: “Apakah kondisi masyarakat saat ini memungkinkan hadirnya kekuatan politik alternatif?”
Dalam penjelasannya, ia menyampaikan tiga hal yang menjadi landasan dasar bahwa benar kekuatan politik alternatif itu saat ini dinantikan kehadirannya. Ketiga hal itu adalah, kegagalan partai politik yang saat ini ada, keresahan masyarakat yang semakin luas, dan kesadaran politik yang terus tumbuh. Untuk selengkapnya baca: “Saatnya Membangun Kekuatan Politik Alternatif”
Oleh karena itu, lanjutnya, jika kemudian kita memutuskan untuk membangun kekuatan politik alternatif, itu bukan semata-mata karena keinginan. Kekuatan politik alternatif yang akan kita bangun merupakan sebuah kebutuhan.
“Yang tak kalah penting, kita harus mengetahui apa saja yang menjadi unsur-unsur pembangun kekuatan politik alternatif,” katanya. Ia menjelaskan, hari ini hampir semua element gerakan rakyat bergerak. Atas dasar itu, ia sampai pada kesimpulan, organisasi rakyat merupakan komponen yang sangat potensial untuk dirangkul guna membangun alat politik.
“Harus ada kekuatan yang memulai. Tanpa adanya pelopor gagasan sebaik apapun sulit untuk diwujudkan.”
Ia membayangkan, ada konfederasi besar, atau setidak-tidanya sebuah federasi ditingkat nasional yang bersedia menjadi motor konsolidasi gerakan rakyat. Mengundang serikat petani, organisasi nelayan, masyarakat adat, organisasi mahasiswa, dan lain sebagainya.
“Gerakan buruh dengan kekuatannya yang besar dan terorganisir bisa menjadi motor penggerak. Menjadi magnet bagi gerakan rakyat dalam melakukan konsolidasi,” demikian ia menegaskan.
Tidak cukup dengan mengorganisir organisasi rakyat. Kita sadar, ada banyak tokoh yang baik. Seperti, misalnya, tokoh intelektual yang berfikir kerakyatan, tokoh seniman, tokoh kampus, mereka sangat potensial untuk dilibatkan dalam kerangka pembangunan alat politik.
Ia mengingatkan, “Membangun alat politik tidak akan mungkin kita kerjakan sendiri.”
Mengapa harus melibatkan partisipasi seluas-luasnya? Karena akan ada banyak hambatan yang kita hadapi. Ada beberapa kelompok yang mencoba membangun partai, tetapi gagal. Karena rezim sudah membuat aturan yang sedemikian rupa dan menyulitkan kekuatan alternatif dari gerakan rakyat muncul.
Sore itu, Boing mengenakan baju kotak-kotak. Ia nampak bersemangat dalam memaparkan gagasan dan pandangan politiknya. Dengan intonasi yang meninggi, ia mengatakan, “Kekuatan politik yang ada selalu didominasi pengusaha. Mereka mampu membayar iklan, membayar kantor dan orangnya. Semua itu membutuhkan duit yang tidak sedikit.”
Ia melanjutkan. “Meskipun demikian, kalau seluruh gerakan rakyat bersatu, kita bisa menghadapi seluruh rintangan itu.”
Tidak mungkin hanya dilakukan oleh gerakan buruh. Faktanya, gerakan buruh hanya terkonsentrasi di kota-kota tertentu. Sebagai contoh, di Sulawesi Tengah tidak ada kawasan industri. Tetapi disana adalah basis petani, nelayan, dan masyarakat adat. Dengan bergandengan tangan dengan mereka, kita bisa melewati hambatan yang dibuat rezim untuk menghambat munculnya kekuatan politik baru.
.
IA MENGINGATKAN, tidak semua hambatan muncul dari luar. Hambatan lain akan muncul dari dalam gerakan itu sendiri.
“Persoalan subjektif diantara kita akan tetap ada,” katanya.
Belum lagi dari kekuatan konservatif dan reaksioner. Ini juga akan menjadi hambatan. Rezim borjuis tidak akan pernah rela buruh yang terorganisir ini membangun kekuatan politiknya sendiri. Mereka pasti tidak akan mendukung pendirian alat politik ini.
“Karena buruh bisa satu komando dibandingkan dengan partai politik,” ujarnya. Mogok nasional yang melibatkan dua hingga tiga juta orang bisa kita lakukan tanpa harus mengeluarkan uang untuk membeli nasi bungkus. Berbeda dengan partai politik, yang tidak bisa jalan kalau tidak ada uang. Jika kekuatan terorganisir ini bertransformasi menjadi partai politik, kekuatan politik mana yang bisa menandingi?
Oleh karena itu, saran Boing, kalau meminta pertimbangan jangan pada orang yang salah. Nanti dia akan mengatakan, ngapai mau mendirikan partai? Toh sudah banyak yang gagal. Ikut saja partai yang sudah ada. Bahkan bisa jadi rezim akan melakukan tindakan yang represif. Konsolidasinya dibubarkan. Aktivisnya dikriminalisasi.
Dibalik semua itu, selalu ada harapan. Hambatan itu, demikian ia berkeyakinan, akan lebih mudah dilewati dengan kekuatan buruh yang sudah terorganisir dan melibatkan kekuatan rakyat yang luas dan solid. (*)
*) Bagian kedua dari tiga tulisan yang dipersiapkan.
.
Catatan: Tulisan ini merupakan inti dari pemaparan Ilhamsyah (Ketua Umum SBTPI) dalam Seminar Nasional tentang Politik Buruh yang diselenggarakan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang diselenggarakan di Hotel Grand Cempaka pada tanggal 5 Desember 2015. Sebelum seminar diselenggarakan, terlebih dahulu diadakan launching buku Gagasan Besar Serikat Buruh yang ditulis oleh Presiden KSPI Said Iqbal.