Jakarta,KPonline -Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menyebutkan proses relokasi pabrik telah terjadi sejak 2017 silam. Dari 31 pabrik yang melakukan relokasi, tercatat ada 339 ribu buruh yang terdampak.
Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja Dita Indah Sari mengatakan relokasi pabrik sebetulnya sudah terjadi sebelum pandemi covid-19 dan ancaman resesi global. Dita mengatakan relokasi dilakukan karena upah minimum provinsi (UMP) para buruh.
“Sejak 5 tahun lalu, untuk industri alas kaki, ada 31 perusahaan yang relokasi. Jadi relokasi ini sudah terjadi sebelum resesi dan pandemi. Dari Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), total jumlah pekerja yang terelokasi dari 31 perusahaan itu adalah 339.234 orang,” kata Dita kepada di kutip dari CNN Senin (14/11).
“Tujuan relokasi rata-rata ke Cianjur, Majalengka, Brebes, Garut, Jepara, Sukabumi,” sambungnya.
Selain itu, Dita menjelaskan ada juga perusahaan yang membuka pabrik baru di Jawa Tengah dengan tetap mempertahankan pabrik lamanya di Jawa Barat, yakni Tangerang atau Karawang.
“Sedikit demi sedikit pekerjanya dikurangi sampai akhirnya seluruh proses produksi full digeser ke Jawa Tengah,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakri menjelaskan ada tiga basis daerah produsen, yakni Banten, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
“Relokasi karena kebetulan karakteristik industri kita yang besar-besar ada di Banten, Bekasi, dan Karawang, di daerah ini kemudian relokasi itu sebagian lari ke Jawa Barat dan Jawa Tengah. Di Banten, tidak ada relokasi ke sekitar Banten. Jawa Barat ada relokasi di sekitar Jawa Barat juga. Di Jawa Timur, sebenarnya ada juga relokasi di sekitar Jawa Timur juga,” jelasnya saat dikonfirmasi.
Bahkan, Firman mengatakan sebetulnya proses relokasi sudah terjadi sejak 2015. Kendati, ia mengaku memang ada peningkatan investasi yang cukup tinggi pada 2016 dan 2017 yang mendorong terjadinya relokasi pabrik.
Meski begitu, relokasi pabrik tersebut tidak ada kaitannya dengan pemutusan hubungan kerja (PHK). Perihal relokasi yang sudah terjadi sejak lama ini, Firman mengatakan murni karena masalah biaya UMP pekerja.
“Yang jadi permasalahan kan di kenaikan upah selama ini. Faktor output atau harga jual kita untuk pasar ekspor tidak pernah naik, tetapi di sisi lain faktor input naik terus. Makanya ketika upah tiap tahun naik, lama-lama jadi tidak kompetitif,” jelasnya. cnn