76 Tahun Hari Listrik Nasional, Negara Produksi Akumulasi Keuntungan Bagi Pemilik Modal dan Akumulasi Penderitaan Untuk Rakyat

76 Tahun Hari Listrik Nasional, Negara Produksi Akumulasi Keuntungan Bagi Pemilik Modal dan Akumulasi Penderitaan Untuk Rakyat
Logo Hari Listrik ke-76

Semarang, KPonline – Mungkin belum banyak yang tahu bahwasannya pada hari Rabu (27/10/2021) adalah Hari Listrik Nasional (HLN) ke-76. Sejarah Peringatan HLN berawal dari momentum nasionalisasi perusahaan-perusahaan listrik dan gas yang semula dikuasai oleh penjajah Jepang, setelah direbut oleh para pemuda dan buruh listrik, perusahaan-perusahaan tersebut kemudian diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Selanjutnya melalui Penetapan Pemerintah No. 1 tanggal 27 Oktober 1945 dibentuklah Jawatan Listrik dan Gas yang selanjutnya setiap tanggal 27 Oktober diperingati sebagai Hari Listrik Nasional. Dan untuk tahun ini Hari Listrik Nasional ke-76 mengusung tema: “Terang Negeriku Tangguh Indonesiaku.”.

Namun selama 76 tahun sesuai dengan slogan Perusahaan Listrik Negara (PLN) Menerangi Indonesia, Memajukan Bangsa tidak indah seperti yang terdengar, karena dalam 76 tahun listrik nasional penciptaan yang dilakukan adalah kegelapan dan kemunduran bagi kesejahteraan rakyat dan lingkungan mulai dari hulu sampai ke hilir.

Dalam Pers Release Bersama yang dikeluarkan oleh YLBHI-LBH Yogyakarta, YLBHI-LBH Semarang, YLBHI-LBH Surabaya dan YLBHI-LBH Bandung menyebutkan bahwa kegelapan dan kemunduran yang dimaksud adalah karena merampas tanah rakyat, merusak laut, menciptakan ribuan lubang tambang, banjir, merampas nyawa rakyat tak bersalah, memenjarakan rakyat, merusak sumber air dan produktifitas tanah rakyat terjadi pada warga disekitar PLTU-PLTU yang berada di Cilacap, Jepara, Batang, Dieng, Paiton, Indramayu dan Cirebon dengan permasalahan yang berbeda-beda.

Akumulasi penderitaan rakyat akan semakin cepat, membesar dan meluas dengan adanya UU Cipta Kerja dan UU Minerba yang mempermudah izin, menghapuskan syarat-syarat perlindungan lingkungan, sentralisasi kekuasaan, menjamin peruntukan ruang untuk ekspansi ruang akumulasi keuntungan, dan banyak pengaturan lainnya yang menguntungkan pemilik modal.

Seluruh pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan dan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Negara adalah bagian dari pelayanan negara kepada pemilik modal. Produksi listrik yang berlebihan dan merusak ini diberikan untuk memberi karpet merah bagi ekspansi industri besar-besaran. Misalnya, untuk melayani puluhan kawasan industri besar di Jawa Tengah. Sehingga tidak pernah ada rakyat dalam rencana dan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan negara. Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) yang dianggap menjadi solusi transisi energi bersih juga tidak lebih dari solusi palsu yang ujungnya tetap pada akumulasi keuntungan Pemilik modal.

Isi dari RUU ini lebih pada mempermudah perizinan dan promosi dagangan pembangkit listrik tenaga nuklir yang juga membawa daya rusak luar biasa. Pembahasan nya juga dikebut, bahkan target awal pembahasan RUU EBT rampung pada Oktober 2021.

Persoalan energi seharusnya tidak dipandang hanya pada persoalan bagaimana memproduksi energi yang bersih dan rendah karbon, tapi pembahasan paling penting adalah untuk siapa energi itu diproduksi, apakah produksi nya berkeadilan atau menindas. Selama energi hanya dijadikan alat untuk memenuhi kerasukan akumulasi keuntungan maka produksi akumulasi penderitaan rakyat juga akan terus terjadi.

Oleh karena itu, dalam pers release Bersama tersebut Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia  mengajukan beberapa ajakan sebagai berikut :

  1. Mengajak rakyat untuk bersatu, bertahan sekuat tenaga melindungi ruang hidup dari kerakusan pemilik modal yang merusak keberlanjutan hidup rakyat dan lingkungan.
  2. Mengajak rakyat untuk memikirkan ulang demokrasi keterwakilan yang bekerja meng-akumulasi penderitaan bagi rakyat. Demokrasi palsu yang membuat si kaya makin kaya si miskin makin miskin lewat perampasan ruang hidup, perusakan lingkungan dan pemerasan tenaga kerja. Demokrasi palsu yang merendahkan martabat manusia dan alam dengan menjadikan alam dan manusia sebagai barang dagangan.
  3. Mengajak rakyat untuk melawan akumulasi penderitaan ini dengan akumulasi kemarahan rakyat yang dibangun melalui konsolidasi dan persatuan perjuangan rakyat.
  4. Mengajak rakyat untuk menjadikan pembicaraan energi yang salah satu didalam nya adalah listrik menjadi agenda politik kerakyatan, dimana rakyat menentukan kebutuhan energi nya sendiri, dan model produksi energi seperti apa yang dipilih.