Baru-baru ini, laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah penduduk kelas menengah turun drastis dari 57,3 juta pada tahun 2019 menjadi 47,85 juta orang pada tahun 2024. Itu artinya, selama lima tahun terakhir, sebanyak 9,48 juta orang telah turun kelas.
Penurunan ini menjadi cerminan nyata dari dampak kebijakan ekonomi yang tidak berpihak pada kesejahteraan buruh dan masyarakat luas. Banyak faktor yang mempengaruhi penurunan ini, mulai dari kenaikan biaya hidup, rendahnya kenaikan upah, hingga regulasi yang tidak berpihak pada hak serta kepentingan kelas pekerja.
Dalam situasi ini, buruh menjadi kelompok yang paling rentan terdampak. Ketidakstabilan pekerjaan, maraknya hubungan kerja yang fleksibel, serta minimnya akses terhadap jaminan sosial membuat banyak buruh sulit mempertahankan posisi mereka di kelas menengah.
Pemerintah dihadapkan pada tantangan besar untuk menanggapi hal ini. Beberapa pihak mendorong pemberian insentif yang lebih bagi kelompok yang tertekan secara ekonomi. Dari perspektif buruh, fenomena ini tidak bisa dilihat hanya sebagai masalah insentif semata, melainkan juga harus dikaitkan dengan kebijakan ketenagakerjaan yang mempengaruhi daya beli masyarakat, terutama para pekerja yang berada di garis depan.
Dalam pandangan saya, penurunan kelas menengah tidak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah yang pro-kapital dan berorientasi pada fleksibilitas tenaga kerja, yang diperkuat dengan implementasi omnibus law UU Cipta Kerja. Dengan semakin menurunnya perlindungan terhadap hak-hak pekerja, upah yang stagnan, serta kondisi kerja yang tidak stabil, banyak pekerja terjebak dalam pekerjaan bergaji rendah dengan perlindungan minimal. Dampak dari kebijakan ini adalah lemahnya daya beli, yang pada akhirnya mempersempit peluang kelas pekerja untuk naik ke tingkat kelas menengah. Kemudahan dalam melakukan PHK dengan pesangon yang murah, mempercepat turunnya kelas menengah.
Pemerintah memang berupaya memberikan insentif bagi sektor-sektor tertentu untuk memacu pertumbuhan ekonomi, tetapi ini tidak cukup. Dalam banyak kasus, insentif tersebut lebih banyak menguntungkan pengusaha besar ketimbang memberikan dampak langsung pada pekerja. Sebagai contoh, dalam industri padat karya seperti garmen, manufaktur, dan jasa, buruh masih bekerja dengan upah minimum yang tidak sebanding dengan inflasi dan kenaikan harga kebutuhan pokok. Ini memperparah kondisi, membuat banyak buruh tidak bisa menabung atau memiliki daya beli yang cukup untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.
Salah satu langkah penting yang harus diambil pemerintah adalah memastikan bahwa insentif yang diberikan bukan hanya berfokus pada sektor usaha, tetapi juga kepada buruh. Pemerintah harus serius dalam mendorong kebijakan yang pro-buruh dengan memastikan kenaikan upah yang layak, penghapusan outsourcing, serta memperbaiki kondisi kerja. Buruh membutuhkan lebih dari sekadar janji, mereka membutuhkan perubahan struktural yang bisa memberikan mereka perlindungan dan kepastian ekonomi.
Jika pemerintah ingin benar-benar memulihkan dan memperbesar kelas menengah, buruh harus menjadi fokus utama dalam kebijakan ekonomi. Membangun kelas menengah yang kuat tidak bisa terwujud tanpa melibatkan dan memperbaiki nasib buruh yang selama ini menjadi roda penggerak perekonomian. Kelas menengah tidak akan berkembang dengan baik selama buruh tetap berada dalam tekanan ekonomi, bekerja dengan upah yang tidak memadai, dan tanpa perlindungan sosial yang kuat.
Pemerintah juga harus mempertimbangkan untuk memperkuat sistem jaminan sosial dan memastikan bahwa buruh memiliki akses yang mudah dan memadai terhadap jaminan kesehatan, pensiun, dan perlindungan pengangguran. Ini penting untuk memberikan rasa aman kepada buruh dan mendorong mereka untuk berkontribusi lebih banyak dalam perekonomian. Sebuah kebijakan yang memperhatikan kesejahteraan buruh adalah kunci untuk meningkatkan kelas menengah.
Sekali lagi, solusi bagi penurunan jumlah kelas menengah harus dimulai dengan memperkuat posisi buruh dalam perekonomian. Kebijakan insentif yang hanya berfokus pada pengusaha tidak akan cukup untuk mengatasi masalah ini. Peningkatan kesejahteraan buruh, upah yang layak, dan perlindungan sosial yang kuat adalah kunci. Tentu saja, itu semua bisa diawali dengan mencabut UU Cipta Kerja.