Jakarta, KPonline – Tiang listrik mendadak jadi bahan perbincangan di jagad maya. Ramai sekali. Ada yang memuji setinggi lagit, betapa tiang listrik ini digdaya. Sekalipun ditabrak fortuner, ia tak bergeming dari posisinya semula. Ada juga yang berdoa pebuh harap, semoga ia tidak dikriminalisasi — karena telah membuat wakil rakyat yang terhormat di negeri ini celaka.
Andaikan ia pendekar, tentu tiang listrik ini dalam kategori sosok pendekar yang sakti mandraguna. Kalau biasa-biasa saja, ditabrak mobil segede gajah anakan itu, bisa dipastikan akan mental sekian meter jauhnya.
Indikator ini bisa dilihat dari seberapa parah luka si penumpang yang ada di dalam fortuner itu. Padahal, si penumpang diyakini juga sebagai orang sakti. Yang pasti tidak seperti kebanyakan orang biasa.
Tetapi begitulah rumus berita. Orang naik kuda, itu biasa. Tetapi kuda naik orang merupakan berita besar.
Begitu pun analogi untuk tiang listrik ini. Kalaulah si tiang listrik yang roboh terpental akibat disruduk fortuner, Anda sudah tahu jawabannya. Tetapi ini, justru yang nabrak malah njendol segede bakpao. Pantaslah ini menjadi berita terheboh pekan ini.
Dibalik itu, mustinya kita juga paham betapa beratnya beban si tiang listrik. Bukan saja di bully, dibuat meme-meme, dan diperbincangkan dari pagi hingga pagi lagi.
Saya kasih tahu, menyangga arus listrik yang makin mencekik dan membebani rakyat, itu merupakan derita yang tak terkira beratnya.
Bayangkan, arus listrik yang ia sangga itu mengalir ke rumah-rumah penduduk yang makin berat beban hidupnya. Apalagi pasca kenaikan (kata PLN penyesuaian) beberapa waktu lalu. Setiap hari keluhan meraka yang papa didengarnya — tanpa bisa berbuat apa-apa.
Seorang buruh, misalnya, biasanya hanya membayar listrik 200 ribu sebulan. Kini bisa mencapai 350 ribu. Kenaikan sebesar itu memukul daya beli buruh, di saat upah yang mereka terima tidak naik.
Tahu kan, sakitnya dimana dalam kondisi seperti ini?
Belum lagi kalau bicara nasib para pekerja pelayan teknik, yang kebanyakan outsourcing itu. Sudahlah bekerja tanpa kepastian, tak jarang ketika memperbaiki jaringan listrik, si buruh yang malang ini tersengat strum dan tewas di pelukan si tiang listrik.
Ini bukan sekali dua kali. Andaikan si tiang listrik ini bisa bicara, ia akan menangis meronta-ronta. Tak sanggup menahan beban yang sedemikian beratnya.
Jadi kalau ada yang bertanya, ada apa dengan tiang listrik? Jawab saja. Dia adalah saksi segala luka, derita, dan sandiwara.