Jakarta, KPonline – Kesaksian polisi terkait aksi penolakan PP Pengupahan menyebutkan unjuk rasa buruh berlangsung damai. Namun demikiam, aksi di depan istana pada 30 Oktober 2015 itu berujung pemidanaan 23 buruh, 1 mahasiswa, dan 2 pengacara LBH Jakarta.
Dalam persidangan kriminalisasi pada Senin (20/6), para saksi dari kepolisian kompak menyatakan tidak ada kekerasan. Pengacara LBH FSPMI Agung mengatakan tiga saksi yang dihadirkan semuanya menerangkan aksi buruh berjalan damai.
“Baik Hendro Pandowo (mantan Kapolres Jakpus), Kaur II Investigasi Polres Jakpus Samirin, dan Kanit Provos Polres Jakpus Saeran mengatakan aksi buruh berlangsung damai,” kata Agung.
Agung menambahkan, aksi gabungan buruh itu langsung bubar ketika polisi menembakam gas air mata. Alhasil, tidak ada alasan penangkapan terhadap 26 aktivis itu. Jaksa menuntut para aktivis dengan pasal karet melawan aparat (216 dan 218 KUHP).
Selain itu, saksi kepolisian juga bertentangan satu sama lain. Dalam keterangannya, kesaksian Saeran bertentangan dengan saksi pelapor Hendro Pandowo. Saeran mengatakan jika sejak pukul 18.00 s/d 23.30 WIB dirinya bersama-sama dengan Hendro Pandowo yang saat itu menjabat sebagai Kapolres Jakarta Pusat berada di depan Istana Negara. Keterangan ini bertolak belakang dengan yang disampaikan Hendro sebelumnya yang mengatakan jam 22.00 membuat laporan polisi atas demo buruh ini di Polres Jakarta Pusat dan sepuluh menit kemudian di BAP di Polda Metro Jaya.
Arif menambahkan, persidangan ini berawal dari laporan yang dibuat Hendro. Jika benar yang dikatakan Saeran bahwa pada malam di tanggal 30 Oktober 2016 itu tidak membuat laporan polisi ke Polres Jakpus, maka tidak disangsikan lagi jika ini benar-benar persidangan rekayasa.
Sementara itu, masih menurut Arif, Saeran sendiri juga berbohong ketika menerangkan hanya ada dorongan-dorongan antara massa aksi dan Polisi sesaat setelah gas air mata ditembakkan.
“Faktanya bukan dorong-dorongan. Saat tim kuasa hukum putar video suasana di depan Istana sesaat setelah polisi menembakkan gas air mata. Yang terjadi adalah penangkapan disertai tindak kekerasan dan pengrusakan oleh polisi berbaju turn back crime terhadap buruh dan mobil komando,” kata Arif.
Sejak awal kuasa hukum para Terdakwa sudah keberatan terkait pemeriksaan saksi yang notabene adalah polisi. Hal ini, karena, ada kekhawatiran polisi tidak bisa netral dan objektif dalam berikan kesaksian.
Pada 30 Oktober 2015, sekitar 10 ribu buruh dari Gerakan Buruh Indonesia menggelar aksi damai di depan istana menolak PP Pengupahan. Gabungan berbagai federasi dan konfederasi besar itu menolak bagian dari paket kebijakan liberalisasi ekonomi karena memangkas pertumbuhan daya beli buruh. Namun, kepolisian Polda Metro Jaya membubarkan aksi damai itu dengan kekerasan. Kepolisian juga menangkap 26 aktivis. (*)