Aku Kartini, Dengan Caraku

Aku Kartini, Dengan Caraku

Karawang, 07 November 2012

Kisah ini bukan tentang cinta, namun dari cinta semuanya bermula. Aku hanya seorang anak yang ingin selalu mencintai kedua orangtuaku. Begitupun sebaliknya, Aku ingin selalu dicintai oleh keduanya.

Bacaan Lainnya

Bel berbunyi nyaring, seluruh pekerja masuk ke ruangan mereka masing-masing. Ruangan tempat mereka bekerja mencari nafkah, mencari pengalaman, pun mencari sesuatu yang bisa melengkapi separuh hidup mereka, seperti ucapan salah seorang Atasan perusahaan Kami saat sesi renungan malam di hari wawancara tempo hari, “Sambil menyelam minum air, sambil bekerja siapa tahu dapat jodoh.” Kalimat itu selalu terngiang ditelingaku sampai hari ini.

“Ta, ayo masuk!” Seorang teman baru, meneriakiku untuk bergegas masuk Line Produksi. Seseorang yang baru aku kenal beberapa hari lalu saat kami menjalani tes kerja dan wawancara. Aku mengangguk mengekor langkahnya yang pasti tanpa keraguan.

“Baiklah kawan-kawan, sebelum memulai bekerja alangkah baiknya kita berdoa sesuai Agama dan Kepercayaan kita masing-masing. Berdoa dimulai!” Atasan Kami mengakhiri meeting pagi ini, dan Semua yang ada di ruangan itu menunduk takzim sembari berdoa dengan khidmat. Bagi Kami, doa adalah cara agar Allah selalu mengulurkan berkahNya pada setiap apa pun yang kami lakukan. Doa adalah permulaan yang baik dari sebuah langkah baik.

Hari ini Aku belum sepenuhnya bekerja karena masih dalam masa percobaan atau biasa disebut Trainning. Satu minggu kedepan semua anak baru akan dibimbing oleh para Karyawan senior. Dan bersyukur sekali Aku mendapat Kakak senior yang baik-baik. Ya, mereka baik dan membimbingku dengan sabar. Ini adalah kali pertama Aku berhadapan dengan mesin yang besar, dan cutter yang tajam di dalamnya. Salah sedikit, bisa saja tanganku yang terpotong. Hehe.. tidak semengerikan itu juga kok, itu terlalu dramatis.

Hari-hariku berlalu dengan sedikit melelahkan. Betapa tidak, Aku yang biasanya hanya berkutat dengan pulpen dan buku, kini ditambah dengan mesin produksi yang ukurannya cukup besar, cara pengoprasiannya, input data, material produksi, dan jangan lupa dengan Atasan yang tidak semuanya memahami mental pekerjanya. Tetapi itu hanya segelintir, masih banyak juga Atasan yang memanusiakan manusia.

Di hari pertama Trainning, hal paling Aku ingat adalah istirahat makan siang dengan menu katering ayam suir cabai ijo yang menurutku sangat enak, ditambah dengan sop bening dan buah melon yang sudah di potong, siap makan. Hanya yang membuat Aku sedikit mengerutkan dahi adalah, kita makan tidak menggunakan piring, melainkan tray alumunium seperti di penjara. Terlalu sarkas Aku mengumpamakannya, tetapi itulah yang pertama kali terbesit di pikiranku. Terlepas dari itu semua, Aku begitu nyaman dengan lingkungannya, selain bersih, orang-orang di Perusahaan ini ramah-ramah. Setiap saling bertemu, mereka melempar senyum sembari mengangguk pelan tanda menyapa dalam diam. Sungguh budaya Indonesia masih melekat di sini.

Karyawan baru seluruhnya masih bekerja pagi karena belum di bagi shift, hanya penempatan bagian produksi saja. Kerjaan kami seminggu kedepan adalah mencatat Start Up lalu menerapkannya setiap awal shift A, Visi dan Misi Perusahaan, pengenalan nama-nama Proses Produksi dari awal sampai akhir, aturan material seperti FIFO atau First In First Out, juga yang paling tinggi tahtanya yaitu Tes OJT (On The Job Trainning) yang akan kami hadapi per enam bulan sekali seperti ujian sekolah.

Hari ini Aku lalui dengan lelah, otakku masih berkutat dengan tulisan di buku catatan.

“Ta, Kamu mau beli makan apa?” Tanya Mba Uty  setibanya Kami di kosan.

“Aku ngikut Mba saja!” Karena keterbatasan uang saku, akhirnya kami memutuskan beli makan di warteg, begitu seterusnya. Karena kami belum mampu beli lauk yang mewah saat itu. Menu paling mewah awal-awal kami merantau adalah indomie rebus pakai telur cap Warteg. Aku tidak berlebihan mendeskripsikan rasa perih kami saat itu, semua itu adalah proses yang kami lalui dengan penuh harapan, bahwa suatu saat nanti hidup kami akan jauh lebih baik dari hari ini.

Selama Kami tinggal bersama, Kami selalu berusaha hidup irit dan prihatin. Perabot untuk kos-kosan saja Kami beli patungan. Seperti Kasur lantai yang tebalnya hanya 5 cm Aku yang beli dari menyisihkan uang gaji. Mba Uty kebagian beli setrikaan, karena sebagai pekerja yang menggunakan seragam setiap hari, kami membutuhkannya. Dan Upil teman sekamarku yang satu lagi kebagian jatah membeli rice cooker agar kami tidak beli terus nasi di warteg. Walaupun lauknya tetap, tujuan kita adalah warteg juga. Dan satu lagi, Kami bisa makan enak hanya di awal bulan saja. Sate dan Kebab adalah makanan enak dan mahal bagi kami saat itu. Huft! dramatis…

Upil adalah teman yang mengusulkan kita kos bertiga. Dia orang pertama yang mengajakku tinggal bersama saat Aku kebingungan belum memiliki tempat tinggal. Mungkin bagi orang lain hal itu sepele, tetapi bagiku saat itu, apa yang Upil lakukan seumpama Pelepas dahaga di gurun Sahara, sangat berarti. Dan jasanya akan Aku ingat sampai kapan pun.

Meski Aku bekerja di Kota kelahiranku sendiri, Aku tidak mungkin pulang-pergi, mengingat jarak tempuh dari rumah ke tempat kerja cukup jauh. Pasti akan menguras sisa energiku setelah lelah bekerja.

Aku hanya membawa beberapa barang yang Aku perlukan dari Rumah. Seperti bantal plus sarungnya, sarung Samarinda warna Ungu untuk selimut tidur, baju ganti, beberapa aksesoris seperti bros dan gelang, buku, dan juga boneka yang menemani tidur sebagai pengganti guling, boneka pinguin biru yang Aku beri nama Tiko.

Satu bulan berlalu, gaji pertama yang Aku dapat saat itu hanya cukup untuk bayar utang  ongkos merantau dan bayar kosan. Untuk makan Aku masih minta pada kedua orantuaku, maka kalian tahu kan seberapa besar usia seorang anak, mereka akan tetap membutuhkan kedua orangtuanya, begitupun Aku.

“De, kok kayaknya Dede kurusan ya?” Papa adalah orang pertama yang sadar kalau putrinya kehilangan beberapa kilogram berat badan di satu bulan pertama bekerja.

“Memang kerjanya capek banget De?” Sambung beliau seakan kasihan pada anaknya yang baru pertama kali hidup mandiri ini.

“Enggak Pa, Dede cuma kaget saja karena ada shift malam. Soalnya kalau shift malam tuh semalaman begadang” Papaku hanya manggut-manggut tetapi fokusnya masih kepadaku.

Maklum baru satu bulan bekerja Aku kehilangan 7 kg berat badanku, wajar Papa sekhawatir itu. Apalagi Beliau ini paling bawel mengenai anak-anaknya. Dari kecil saja Aku, Adik dan Kakakku selalu di biasakan tidur siang sehabis makan dan belajar. Papa selalu bilang, “Tidur siang itu wajib, biar otak istirahat.” Begitu pesan beliau.

Bekerja menjadi Operator di salah satu perusahaan ternama di Karawang bukan cita-citaku. Tidak ada di rencana atau wishlist ku. Tetapi ini semua jalan yang Allah pilihkan untukku, agar prosesnya bisa Aku nikmati. Seperti di suatu momen saat bulan berikutnya Aku pulang, Papa mengeluarkan uneg-uneg yang Beliau pendam.

“Papa gak nyangka Anak Papa jadi Pekerja, jadi buruh lagi. Padahal gak ada sejarahnya keluarga Kita kerja di orang. Babah (Sebutan Beliau pada Ayahnya) pedagang, Papa pedagang ikan, kakak iparmu pedangan kepiting, kakak iparmu satunya pedagang Ayam. Cuma Dede doang yang jadi pekerja, padahal sekolah sampe SMA” ungkap Beliau sambil menatap wajahku yang sedikit masam karena ucapannya.

“Dede kan Cuma belajar realistis Pa, buktinya dari bekerja sebagai buruh, Dede bisa menghidupi diri Dede sendiri dan berusaha meringankan beban Papa sama Mama,–Aku menghela napas dalam menghembuskannya pelan – Dede gak peduli sama pekerjaan Dede untuk sekarang, yang terpenting Dede bisa ngasilin uang”. Aku tidak marah sama Papa karena meremehkan pekerjaanku saat itu, Aku justru ingin Papa paham bahwa apa yang Aku pilih adalah opsi lain dari semua mimpiku yang terkubur dan tidak bisa Aku gapai saat Papa mengungkapkan ketidaksanggupannya untuk menyekolahkanku ke Perguruan Tinggi.

Waktu berlalu, terus bergulir tanpa pernah berusaha untuk tinggal apalagi kembali. Mei 2013 Tanggal 01 adalah Mayday Pertamaku. Pertama kalinya Aku ikut mempertingati Hari Buruh Sedunia Bersama karyawan yang lain. Ini kali pertama Aku menginjakkan kaki di GBK yang begitu megah dengan riuh gemuruh seluruh buruh pabrik yang ada di sana.

Ibuku pernah sekhawatir itu saat Aku izin ikut Demo. Demo yang ada dipikiran Ibuku adalah, manjat-manjat pagar besi Istana presiden atau Gedung DPR, bawa alat tempur seperti senjata api atau tajam, dan kemudian berbuat anarkis dengan membahayakan diri. Namun Demo yang sebenarnya Aku ikuti selama Aku jadi buruh adalah, long march massa Buruh dari Gedung DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) menuju GBK (Gelora Bung Karno), menyanyikan himne Buruh, dan pastinya menyeruakkan isi hati Buruh untuk kesejahteraan. Terserah apa pun opini public tentang orasi kami, yang mungkin bagi mereka membuat jalan macet dan sebagainya. Tetapi dari tuntutan-tuntutan Kami lah, beberapa kesejahteraan Rakyat di kabulkan Pemerintah, salah satunya yaitu BPJS.

Telepon selalu berbunyi nyaring setiap hari atau berapa kali dalam seminggu. Papaku adalah orang yang selalu jadi penelpon setia yang menanyakan kabar putrinya entah saat di kosan atau di tempat kerja. Pernah sekali waktu Papa mengeluhkan tentang hal itu. “Sekali-kali Dede tuh yang telepon Papa!” Aku anggap itu adalah rengekan dari cinta pertamaku.

Berbeda dengan Papa, Mamaku hanya menelpon setiap akhir bulan sebelum Aku gajian dan pulang ke Rumah. Kalimat yang keluar dari bibir tuanya hanya, “Dede mau dimasakin apa kalau pulang nanti?” Satu kalimat yang akan Aku rindukan setelah waktu berlalu.

Aku selalu memesan menu-menu kesukaanku, seperti tumis kangkong, kepiting kecap (itu kalau Kakak Iparku ada stok), sayur asam pakai udang, dan pepes Ayam yang bumbu kuningnya dibanyakin.

Setengah Tahun berlalu, hari ini Allah memberiku Ujian baru dalam hidup. Kenyataan bahwa Mama di vonis lemah Jantung oleh Dokter Spesialis adalah pukulan bagi keluarga kami. Tetapi bukan Mama Namanya kalau Beliau menyerah. Satu tahun Beliau menjalani pengobatan di Klinik Jantung yang ada di Kota Kami.

Setiap bulan Aku dan Kakakku selalu menyisihkan uang untuk pengobatan yang tidak murah, terlebih tidak bisa pakai BPJS atau Faskes yang di tanggung oleh Pemerintah. Kami pakai uang pribadi. Meski demikian Kami tidak sedikitpun mengeluh karenanya. Bagi kami, Kesehatan Mama adalah segalanya, meskipun untuk sembuh masih begitu abu-abu.

Tidak masuk logika Aku bisa ikut membiayai pengobatan sakit Mama. Mengingat Gaji UMR pada saat itu belum tembus di angka 3 juta. Tetapi Allah selalu punya caraNya, dan selalu tahu batas kemampuan hambaNya. Saat Allah memberi Ujian dan Cobaan, pasti Allah akan memberi sepaket dengan jalan keluarnya.

Memang jalannya dengan berhutang seperti gali lubang tutup lubang, namun Allah maha baik menolongku saat itu. Bila masuk pertengahan bulan, Mba Uty selalu bertanya kepadaku

“Kamu masih ada uang buat Makan Ta?” Dengan menggeleng lemah Aku menjawab tidak ada atau sisa sedikit. Dan tanpa ragu Mba Uty menyodorkan beberapa lembar uang pecahan seratus ribuan untuk Aku menyambung hidup. Aku berhutang pertenghan bulan dan bayar di awal bulan gajian, dan itu berlangsung hampir satu tahun Aku bekerja dan tinggal bersamanya.

Apa yang Mba Uty lakukan saat itu, tidak akan Aku lupakan dengan mudah. Beliau selalu bilang, “Aku ngerti kok Ta, Kamu kan ngutang bukan buat gaya-gayaan, tetapi buat biaya Mama Kamu berobat.”

“Ya Allah entah amalan apa yang Orang Tuaku lakukan, sampai anaknya di pertemukan dengan orang-orang yang tulus” Batinku lirih.

Mba Uty bukan satu-satunya temanku yang baik, masih banyak yang tidak kalah baik kepadaku, tetapi Aku tidak mungkin mengulitinya satu per satu di sini. Tetapi bagiku, mereka semua adalah uluran tangan Tuhan yang paling nyata.

Tidak cukup sampai disitu ujianku, Allah terlalu sayang atau mungkin memberiku teguran bertubi-tubi. 26 September 2014 adalah awal dari semua luka yang membiru di hatiku. Tidak ada yang bisa menggambarkan betapa hancurnya, sakitnya, sedihnya perasaanku saat itu. Tubuhku seperti ditimpa langit Kota saat telepon yang berbunyi nyaring di Jum’at pagi mengabarkan bahwa Ibuku meninggal dunia. Iya, meninggal dunia saat sedang tertidur. Tidak ada yang tahu pasti pukul berapa Mama menghembuskan napas terakhirnya.

Suara tangis Adikku di telpon masih terdengar jelas sampai hari ini. Aku yang berteriak histeris membuat gaduh seisi penghuni kosan yang lain. Dan dengan baiknya Bapak kos ku dan teman kerjaku mengantarku pulang dengan selamat sampai ke rumah.

Apa kalian bertanya ke mana Upil dan Mba Uty saat itu?

Mereka sudah berbeda kosan denganku. Kami memutuskan tinggal sendiri-sendiri secara baik-baik. Tidak ada masalah di antara kami. Kami hanya ingin memulai hidup lebih mandiri karena gaji kami saat itu sudah cukup untuk kami bayar kosan masing-masing, ditambah harga kosan satu petak kami sebelumnya terus naik setiap bulan dengan kelayakan huni yang tidak sepadan dengan harganya saat itu.

Aku lompat dari motor masih memakai helm temanku, aku lupa melepasnya karena tidak sabaran untuk menemui jenazah Ibuku yang sudah kaku membiru. Aku yang terjatuh tepat dihadapan Papaku karena tersandung kakiku sendiri, menangis begitu histeris. Teriakkanku memeka dikeheningan pagi. Papaku hanya berkata “De, Mama De…” Kalimatnya menggantung tidak selesai sambil terus berusaha memapahku yang sempoyongan tidak kuat menahan beban tubuhku sendiri, Sebagian orang lagi sibuk membuka helmku dengan paksa. Agak sakit saat daguku tersangkut, tetapi tidak seberapa dibanding sakitku kehilangan Mama pagi itu.

Menangis… Aku hanya bisa menangis, logikaku kalah dengan air mata. Aku berkali-kali memukul ubin putih di depan pintu sebelum masuk ke rumah. Berteriak saat itu adalah obat bagi hatiku yang belum mampu menerjemahkan semuanya.

“De, Mama makasih sangat sama Dede, sama Bunda Ayu yang udah ngobatin Mama selama ini, keterima sangat sama Mama” Ucap Mama berkaca-kaca beberapa hari lalu waktu menginap di kosanku sebelum beliau wafat.

Aku yang tidak ingin ada tangisan mengalihkan dengan bilang “Apasih Ma, udah ah jangan bilang begitu, Namanya anak ke orang tua kan udah kewajibannya. Yang penting Mama jangan lupa doain kita biar lancar terus rezekynya.”

“Itu mah udah pasti De, tanpa diminta, orang tua pasti selalu doain yang terbaik buat anaknya.”

Obrolan itu makin ke mana-mana, Mama berpesan agar Aku dan saudaraku yang lain selalu akur, mengingatkan kalau capai kerja tidak usah cuci baju, di laundry saja katanya, dan jangan lupa minum air kelapa, itu bagus buat Kesehatan.

Lamunanku buyar seiring waktu menunjukkan pukul 12 siang dan jenazah Mama akan segera di kebumikan. Mengiringi keranda Mama sambil terus menangis dan melepas kepergian Mama terakhir kali sebelum tubuhnya terkubur dengan tanah begitu menguras energiku. Tak ada tenaga lagi yang tersisa, bahkan untuk makan, minum atau sekadar menilik ponselku yang kehabisan daya pun, Aku tidak mampu. Saat itu hanya ucapan Adikku yang terdengar pilu yang justru menggugah hatiku untuk sekadar memasukan makanan ke mulut.

“Teteh, Neng juga sama sedihnya sama Teteh, apalagi Neng yang bobo sama Mama sampe Mama meninggal, tetapi Teteh juga gak bisa begini terus, Teteh harus makan! Mama pasti sedih kalau lihat Teteh begini.” Seketika Aku menatap wajah sendu Addiku yang saat itu menyodorkan sesuap nasi kemulutku.

Tidak cukup sampai di situ, lagi-lagi Allah begitu sayang kepadaku. Tepat Minggu pagi, 06 April 2016, satu tahun setengah setelahnya, Papaku berpulang kepangkuanNya. Aku tidak perlu menjelaskan seperti apa perasaanku saat itu, karena setiap yang kehilangan pasti akan menangis dan bersedih dengan waktu yang tidak tahu sampai kapan.

Tetapi kali ini, yang paling terpukul adalah Adikku. Bukan berarti Aku dan Kakak-kakakku tidak bersedih. Hanya saja Adikku yang paling meratap pilu atas kepergian Papa. Dia juga yang membimbing Papa saat sakaratul maut. Terbayang kan betapa merana hatinya? Gadis yang baru berumur 17 Tahun sudah mendapat gelar Anak Yatim Piatu.

Kakakku saat kedua orang tua kami meninggal, tidak bisa lama-lama bersedih. Dia yang paling berusaha kuat meski hatinya sama terluka, karena anak perempuan pertama itu adalah makhluk paling kuat di bumi ini. Dia di sadarkan dengan keadaan, hanya dia yang bisa diandalkan untuk mengurus semua prosesi pemakaman kedua orang tua kami sampai 3 hariannya, 7 hari, 40 hari, 100 hari dan sampai mendak ketiga atau 3 tahunan sesuai tradisi yang ada di Desa kami.

Dari mulai kepergian Mama sampai akhirnya Papa sakit dan ikut menyusul, semua teman-temanku hilir mudik datang melayat. Aku berkabung, dan mereka ikut serta merasakan  dengan memahami perasaanku, itu sudah lebih dari cukup untukku. Aku bahkan tidak bisa mengucapkan terimakasihku yang begitu dalam atas kebaikan-kebaikan yang mereka berikan untukku. Hanya doa yang bisa Aku panjatkan agar Allah yang senantiasa membalas semua kebaikan mereka.

Tidak ada yang ingin menjadi Yatim Piatu, tidak ada. Ikhlas? Aku tidak paham dengan kata itu. Aku hanya berusaha untuk sabar dan belajar tawaqal atas setiap Takdir yang Allah berikan. Dan menjadi buruh pabrik atau Kaum Proletar bagiku bukanlah sebuah cita-cita, tetapi dengan menjadi bagian darinya Aku bisa membuat hidupku tidak begitu menyesal.

Cita-citaku untuk kuliah memang terkubur, tetapi dengan itu Aku bisa memberi baktiku yang tidak seberapa ini pada kedua orantuaku. Dengan bekerja Aku di berikan Rezeky oleh Allah untuk sedikit membantu biaya pengobatan sakit jantung Mama, meringankan sedikit beban Kakakku yang membiayai hidup Papa dan juga menambah uang saku Adikku yang tidak seberapa.

Mimpiku boleh terkubur, tetapi tidak dengan segala harapanku dalam hidup, tidak juga dengan cinta kedua orangtuaku. Aku mendapatkan semuanya, semua kasih sayang Allah yang tidak bisa Aku hitung satu-satu.

Jangan tanya apa yang telah Allah ambil dariku, tetapi lihatlah apa yang Allah beri untukku? Tidak adil rasanya bila Aku hanya menghitung sedihnya tanpa menjumlahkan kasih sayang-Nya.

Aku masih ingat betapa sedihnya waktu Papa bilang, “Maaf De, Papa minta maaf sekali sama Dede karena Papa gak bisa kuliahin Dede.” Sebuah permintaan maaf yang terdengar amat menyesal tidak bisa mewujudkan mimpi anaknya karena keadaan ekonomi keluarga kami. Aku hanya menunduk sambil mengusap air mataku yang menetes tak mau berhenti saat itu. Tidak marah, tidak pula  menyesal memutuskan untuk bekerja. Dan kata-kata yang selalu Aku ingat saat mengambil keputusan adalah “Hidup itu tidak hanya butuh Niat, tetapi juga Nekat!” Kalimat yang Papa ucapkan saat pertama kali Aku galau waktu di terima Tes kerja, karena harus pulang malam untuk wawancara sesi pertama. Kalimat Papa saat itu yang membawaku pada kehidupan hari ini. Terima kasih Pa, Terima kasih Ma. Mungkin itu kira-kira kata yang ingin Aku ucapkan pada mereka apabila mereka masih ada.

Bagiku, Aku adalah Kartini, dengan caraku!

Kalian juga adalah Kartini dengan versi dan cara kalian masing-masing.

Jangan merasa Allah itu tidak adil. Karena kalau kita menghitung semua nikmat yang Allah berikan, Kita tidak akan mampu untuk membayarnya.

Cerpen ini adalah pemenang juara satu lomba menulis cerpen yang di adakan oleh media perdjoeangan dalam rangka hari buruh 2024