Jakarta,KPonline – Kamis, (16/02/17) Ombudsman mengundang menteri dalam negeri, sehari setelah hari pencoblosan untuk memberikan penjelasan terkait hal itu. Mendagri beserta Dirjen OTDA responsif, hadir langsung. Bagaimanapun polemik soal ini akhirnya gubernurlah sebagai eksekutornya.
Publik dibuat bingung pro-kontra status terdakwa gubernur DKI Jakarta. Para ahli hukum terbelah dengan pandangannya sendiri. Apalagi dalam memandang suatu kasus, seorang sarjana hukum sudah terlatih untuk berada pada posisi pro atau kontra.
Tidak sulit pula berargumentasi “untuk berada di pihak sebelah mana pun.” Kondisi itu malah memperkuat kebingungan soal argumentasi mana yang benar. Dalam soal Ahok, kita menyaksikan dua kubu dengan pandangan berbeda. Tinggal publik mereka-reka, ke mana arah si pemilik pendapat sekaligus menguji konsistensinya.
Jika dipandang dari sumber hokum sudah cukup alasan untuk menonaktifkan sementara gubernur DKI Jakarta karena berstatus terdakwa yang seharusnya sejak perkara didaftarkan.
Alasan Yuridis
UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur dengan jelas “apa yang harus dilakukan” terhadap kepala daerah berstatus terdakwa. Acuannya secara tegas diatur dalam Pasal 83 ayat 1, 2, dan ayat 3.
Pada ayat 1 berbunyi, “Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Sedangkan ayat 2 menyatakan, “Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di pengadilan”.
Selanjutnya pada ayat 3, “Pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota”.
Di antara perdebatan yang ada itu berputar “ke mana-mana”, tapi tidak fokus terhadap dua hal yaitu status terdakwa dan jenis tindak pidananya. Jika fokusnya terhadap dua hal ini, tidak perlu diperdebatkan soal ancaman pidana baik yang paling singkat lima tahun ataupun setinggi-tingginya lima tahun.