Semarang, KPonline – Sebagai bentuk keputus asaan buruh terhadap sikap kaku Pemerintah dalam penetapan upah minimum tahun 2019, ribuan buruh yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Buruh Berjuang Jateng (Gerbang Jateng) melakukan aksi unjuk rasa dengan memblokade empat titik akses menuju Kota Semarang, Senin (19/11/2018).
Berbagai elemen buruh lintas federasi lintas wilayah kompak menyuarakan penolakannya pada Peraturan Pemerintah No.78 Tahun 2015 (PP78/2015) tentang Pengupahan. Para buruh meminta Pemerintah untuk mengembalikan fungsi Dewan Pengupahan dan mendesak Pemerintah untuk tetap menggunakan hasil Survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dalam mekanisme penetapan upah.
Adanya PP78/2015 membuat kenaikan upah buruh menjadi semakin rendah. Penggunaan PP78/2015 dalam penetapan upah minimum hanya berpatok pada Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi dengan mengacuhkan hasil survey KHL.
Bahkan pada penetapan upah tahun 2019, Menteri Tenaga Kerja, Hanif Dhakiri melakukan intervensi secara langsung, yakni dengan menerbitkan Surat Edaran Nomor B.240/M-Naker/PHISSK-UPAH/X/2018 tentang Penyampaian Data Tingkat Inflasi Nasional dan Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Tahun 2018 yang mana secara nyata mengancam masing-masing Kepala Daerah yang menetapkan Upah Minimum Tahun 2019 tanpa memakai PP78/2015 akan di copot, besar presentasi kenaikan upah hanya dipatok pada 8,03%.
Hal ini sontak memancing reaksi dari para buruh terutama di Jawa Tengah. Buruh Jateng yang selama ini harus menelan kenyataan akan upah murah, semakin terbebani dan semakin jauh harapan akan kesetaraan upah dengan Jawa Barat dan Jawa Timur.
Reaksi buruh ini di wujudkan dalam aksi kali ini, sekitar empat titik Akses menuju Kota Semarang dilumpuhkan yakni di Jalur Pantura (Jl.Raya Semarang-Kendal), Jalur Pantura Demak, Exit Tol Banyumanik dan Exit Tol Gayamsari.
Para buruh yang melakukan blokade bukan hanya dari Kota Semarang saja, diantaranya hadir Buruh dari Grobogan, Demak, Jepara, Kendal, Ungaran, Solo Raya dan Magelang. Dengan tertutupnya empat akses ini otomatis jalur menuju Surabaya, Jakarta, Jogja, Solo dan Purwodadi lumpuh total.
“Dengan upah yang saya terima saat ini di Kota Semarang hanya sebesar Rp 2.310.000 tak cukup dalam memenuhi kebutuhan setiap bulannya. Harga harga naik, bbm naik, listrik naik tapi upah yang jadi urat nadi kehidupan kami kenaikkannya tak seberapa”,ungkap Agus, salah satu buruh di Kawasan Industri Candi yang juga Bapak beranak tiga.
Rendahnya upah tentu berdampak pada melemahnya daya beli di masyarakat. Efek ini bukan hanya dirasakan buruh saja, tapi juga lingkungan di sekitarnya. Warung warung makan, toko kelontong, pasar, penjual jasa dan banyak lagi yang tentu akan merasakan dampaknya. Reaksi para buruh ini harusnya menjadi evaluasi Pemerintah dan masalah upah untuk tidak menjadi ajang permainan.
Target daripada aksi buruh ini yakni agar Gubernur Jawa Tengah dapat menerima tuntutan buruh yakni 1. Setarakan upah buruh Jawa Tengah dengan Provinsi lainnya, 2. Tolak PP No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan sebagai dasar untuk penetapan UMK 2019, 3. Tetapkan UMK 2019 Jawa Tengah berdasarkan nilai Kebutuhan Hidup Layak (KHL) 2018, 4. Tetapkan formulasi UMSK dan struktur skala upah.
“Aksi ini untuk mendesak Ganjar Pranowo menemui kami, bukan kami yang menemui Ganjar Pranowo,” ungkap Abdul Madjid, anggota Dewan Pengupahan Kota Semarang yang di daulat sebagai orator dalam aksi tersebut.
(Afg)