Serang, KPonline – Awal tahun 2000, kami berempat masuk ke warnet di Ciruas. Ini merupakan satu-satunya warnet terdekat di sekitar tempat tinggal kami. Ketika itu, tidak banyak tempat beginian di Serang bagian Timur. Maka, jauh-jauh dari Cikande, kami pergi ke Ciruas hanya untuk mengirimkan e-mail. Keempat orang itu adalah saya, Ema, Mulyono, dan Andi Abdillah.
Begitu memasuki warnet, kami tidak tahu harus melakukan apa. Jangankan alamat e-mail, kami berempat ternyata tidak lebih dari sekawanan yang tuna internet. Kesalahan kami, sebelumnya tidak saling bertanya siapa diantara kami yang biasa menggunakan e-mail. Maka dalam perjalanan, sesungguhnya kami saling mengandalkan. Saya mengandalkan Ema yang bergelar sarjana ilmu politik. Ema mengira saya yang bekerja di bagian PPIC dan menangani manajemen information system menguasai cara mengirim surat elektronik.
Ternyata kami keliru. Sekedar mengandalkan perasaan, seringkali hanya bertepuk sebelah tangan. Alhasih, sepanjang satu jam, kami hanya ngublek-ublek layar komputer, tanpa pernah berhasil mengirimkan surat tersebut. Di samping kanan-kiri adalah anak-anak SMP yang asyik chatting. Bertanya kepada mereka, malu.
Keluar warnet, kami mentertawakan kebodohan diri sendiri. Seperti dendam yang ingin lunas dibayarkan. Kami cepat belajar. Tak lama setelah itu, kami sudah memiliki alamat email sendiri.
Beberapa tahun kemudian, Ema diterima menjadi dosen di sebuah universitas negeri yang ada di pinggiran Ibukota Jakarta. Dia berhasil menyelesaikan Magister-nya di Bandung. Dengan bahasa Inggrisnya yang fasih, dua layak mendapatkannya. Mulyono, sosok yang bersahaja, pendiri serikat pekerja di Sanex Motor itu meninggalkan kami lebih cepat. Dia meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan di Jakarta.
Tinggallah saya dan Andi Abdillah, yang tetap setia dengan isu perburuhan.
Dulu, saya dan Andi sering berada di sekretariat hingga larut malam. Kami membuat draft surat, menyusun somasi, melakukan analisa terhadap beberapa perkara. Sebagai orang baru dalam gerakan, saya banyak belajar darinya.
Jika malam sudah mulai larut, biasanya Andi mengaji. Suaranya indah sekali. Dia juga sempat mengajari saya bahasa Arab dan cara memahami arti ayat al-Qur’an, tetapi saya murid yang gagal. Setelah itu ia pamit pulang, naik sepeda.
Kebiasaannya. Ketika bekerja, di dekat komputer, selalu tersedia kopi dalam mug besar. Dia juga perokok berat.
Pernah, ketika kami ke Jakarta, dia mengeluarkan dua botol kratindaeng dari dalam tasnya. Satu diberikannya untuk saya, satu lagi diminumnya sendiri. Ternyata isinya kopi, bukan kratindaeng. Saya kira, itu adalah penipuan paling nyentrik yang pernah terjadi: kopi dalam botol kratindaeng.
“Kok isinya kopi!” Protes saya.
Andi hanya nyengir. Dia tahu jika saya juga peminum kopi. Barangkali karena itulah, dia tidak merasa bersalah ketika melakukannya. Dulu, kebiasaannya memasukkan kopi ke botol kratindaeng sempat saya tiru.
Saat itu, saya belum menikah. Andi tahu saya menyukai seorang gadis. Dia menyanyikan lagu cinta untuk saya. Lagu terindah yang pernah dinyanyikan seorang lelaki yang usianya lebih tua dari bapak saya.
Di sela-sela kesibukannya, Andi menciptakan beberapa lagu. Sayang, saya tidak sempat merekamnya.
Hingga kemudian, Andi ditugaskan ke Batam. Dua kali dalam sebulan, dia pulang ke Serang. Kami mengadakan semacam reuni. Satu ketika, dia memamerkan flashdisk, sambil mengkritik saya yang masih menyimpan data dalam kepingan CD. Dalam hal ini, saya memang paling lambat dalam beradaptasi.
“Kamu menggunaan seribu CD, saya cukup dengan benda kecil ini,” katanya. Saya merebut benda itu. Tetapi dia lebih lincah mengamankannya.
Hingga kemudian, dia sudah jarang kembali ke Serang. Terakhir kami bertemu di Bandung, dalam sebuah meeting berskala nasional. Di Batam, saya dengar dia mendirikan pondok pesantren. Saya tahu, pengetahuannya tentang agama cukup mumpuni.
Semua peristiwa itu terjadi, lebih dari 10 tahun yang lalu.
Tadi pagi, saya mendapat kabar jika Andi Abdillah meninggal dunia. Saya sulit mempercayai berita ini. Kehilangan orang tua, guru, sekaligus sahabat terbaik sungguh menyesakkan.
Saya sempat akan berangkat ke Batam. Tetapi setelah dipikir kembali, penerbangan ke Batam yang terbatas dan toh ketika sesampainya disana almarhum sudah dikebumikan, akhirnya saya menggantinya dengan do’a – do’a.
Satu hal yang saya sesali, meski beberapa kali ke Batam, saya tidak pernah mampir ke rumahnya. Andaikan waktu bisa diputar kembali. (*)
Kahar S. Cahyono, saat ini menjabat sebagai Wakil Presiden DPP FSPMI.