Batam, KPonline – Hari masih gelap, subuh baru saja selesai. Tapi di salah satu sekolah SLTA di Batam sudah mulai ramai. Para orang tua mengantri untuk mendaftarkan anaknya ke sekolah negeri.
Antrian terjadi karena keinginan orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah negeri masih tinggi. Alasan kenapa ingin ke sekolah negeri bermacam-macam. Dari pembicaraan yang saya tangkap mereka ingin anaknya sekolah di SLTA negeri karena biayanya murah dan malah masih menganggap ada sekolah favorit. Salah satunya di SMA 3 Batam.
Sekali lagi kualitas pendidikan kembali menjadi sorotan, dan sistem zonasi penerimaan peserta didik baru di Indonesia tahun ini kembali membawa kontroversi. Kebebasan memilih sekolah unggulan / favorit yang telah ada bertahun-tahun tiba-tiba hilang.
Tak sedikit orangtua yang rela tiba-tiba berpindah alamat demi masuk zonasi. Untuk Zonasi sebenarnya saya setuju dengan pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy yang mengatakan penerapan sistem zonasi yang dilakukan semenjak 2016 sejatinya memiliki tujuan penting untuk memberikan akses pendidikan kepada semua orang terlepas dari latar belakang maupun golongan.
Sistem zonasi juga diharapkam mampu menjadi inisiator dalam pemerataan kualitas pendidikan di berbagai tempat dan lepasnya stigma sekolah “favorit” yang ada.
Terlepas dari tujuan luhur berdasarkan amanat Pancasila, kita juga harus jujur bahwa nampaknya implementasi di lapangan tidak seperti yang diharapkan. Ribet dan kurangnya sosialisasi membuat para orangtua menjadi kerepotan. Salah satunya adalah saya.
Sistem PPDB yang menggunakan sistem online tidak di imbangi dengan kesiapan sekolah dalam mengantisipasi masalah yang muncul pada saat pendaftaran di mulai.
Hal ini di perparah dengan orangtua yang berbondong bondong mendaftarkan anaknya pada hari pertama pendaftaran dibuka, padahal pendaftaran berlangsung selama seminggu penuh. Dapat di pastikan pada hari ketiga hingga ke enam pendaftaran siswa akan lengang.
Untungnya sistem zonasi yang ada saat ini hanya berlaku bagi Sekolah Menengah Atas atau SMA saja, sementara untuk Sekolah Menengah Kejuruan atau SMK, tidak dikenakan sistem zonasi. Dengan demikian, semua calon peserta didik bisa memilih SMK mana saja tanpa batasan wilayah.
Pilihan sekolah menengah, baik sekolah menengah atas maupun sekolah menengah kejuruan, rupanya dipengaruhi latar belakang orangtua, baik dari segi pendidikan maupun sektor kerja.
Orangtua yang future oriented percaya, semakin tinggi pendidikan, akan semakin besar return yang didapat, meski memerlukan waktu. Sementara itu, orangtua present oriented hanya mementingkan waktu cepat agar anaknya lekas mandiri.
Jadi mau pilih mana? SMA atau SMK? Bagi saya sama saja.