Anto Bangun Bongkar Sistem Kerja Paksa Modern di Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit

Medan,KPonline, – International Labour Organization (ILO) atau Organisasi Perburuhan Internasional adalah salah satu badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh pekerjaan yang layak dan produktif dalam kondisi yang merdeka, setara, aman, dan bermartabat. ILO mempromosikan hak-hak kerja, memperluas kesempatan kerja yang layak, meningkatkan perlindungan sosial, dan memperkuat dialog dalam menangani berbagai masalah terkait dunia kerja, dengan menempatkan pemerintah, organisasi pengusaha, dan serikat pekerja pada posisi yang setara dalam menentukan program dan proses pengambilan kebijakan di dunia kerja.

Tujuan ILO ini sejalan dengan cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam konstitusi negara UUD 1945.

Salah satu upaya ILO untuk mewujudkan keadilan dan menghilangkan diskriminasi terhadap pekerja adalah dengan menerbitkan Konvensi ILO Nomor 105 tentang “Penghapusan Kerja Paksa,” yang kemudian diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1999 tentang Penghapusan Kerja Paksa, Konvensi ILO ini juga selaras dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Piagam Hak Asasi Manusia dan UU.Nomor :39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Namun, dalam implementasinya, konvensi ini tidak sepenuhnya terealisasi sesuai harapan. Hal ini terbukti dari masih maraknya praktik kerja paksa di berbagai perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Sistem kerja paksa ini terus berlangsung secara masif dan sistematis, meski dengan metode yang berbeda dari sistem kerja paksa ala kolonial Belanda yang dikenal sebagai kerja “rodi.”

Dalam catatan sejarah, kerja rodi adalah salah satu babak paling kelam dari penjajahan Belanda di Indonesia. Praktik kerja rodi tidak hanya merusak fisik, tetapi juga menghancurkan martabat dan kemanusiaan rakyat Indonesia.

Di masa kini, sistem kerja paksa “Kerja Rodi” telah berubah menjadi bentuk kerja paksa modern. Buruh atau pekerja dalam melaksanakan tugasnya tidak lagi diawasi oleh mandor yang membawa cambuk dan pentungan. Namun, mereka dihadapkan pada berbagai peraturan yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Pengusaha dengan sewenang-wenang melakukan perubahan sistem hubungan kerja pada pekerjaan yang berhubungan langsung dengan proses produksi (core business), serta membebankan target kerja yang sangat tidak manusiawi dan melebihi batas kemampuan pekerja.

Mandor, yang dulunya berperan sebagai perpanjangan tangan pengusaha untuk menindas pekerja, kini tidak lagi membawa cambuk dan pentungan, tetapi hanya menggunakan pena dan kertas putih. Mereka mencatat seluruh kesalahan pekerja selama proses produksi berlangsung, dan catatan ini kemudian disampaikan kepada pengusaha untuk memberikan sanksi kepada pekerja yang dianggap bersalah, mulai dari pemotongan upah (penalty), surat teguran, surat peringatan, mutasi, hingga pemutusan hubungan kerja.

Lebih lanjut, sebagian serikat pekerja tidak lagi berfungsi sebagai pembela dan pelindung hak-hak buruh sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja, melainkan menjadi alat bagi pengusaha untuk melindungi kepentingan bisnis mereka. Sebagai imbalannya, pengurus serikat buruh ini diberikan uang atau jabatan strategis di perusahaan.

Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia mengekspor minyak kelapa sawit yang kotor bercampur keringat manusia.

Analisis mengenai minyak sawit yang kotor bercampur keringat manusia ini dapat dibuktikan secara empiris melalui fakta-fakta yang ada.