Anto Bangun Dir. LSM TIPAN RI Labuhanbatu : Sebuah Refleksi Matinya Penegakan Hukum Ketenagakerjaan

Anto Bangun Dir. LSM TIPAN RI Labuhanbatu : Sebuah Refleksi Matinya Penegakan Hukum Ketenagakerjaan

Medan,KPonline, – Penegakan hukum dibidang ketenagakerjaan di Indonesia pada kondisi saat ini tampaknya sedang menghadapi tantangan serius. Berbagai aturan yang dibuat untuk melindungi pekerja sering kali hanya berakhir sebagai formalitas belaka. Banyak pihak yang melihat bahwa penegakan hukum ini tidak lagi menjadi prioritas, sehingga nasib pekerja menjadi semakin rentan dan terpinggirkan.

Salah satu penyebab utama matinya penegakan hukum ketenagakerjaan adalah lemahnya pengawasan dari pihak yang berwenang dalam hal ini dari Kementerian Tenagakerja beserta seluruh jajarannya. Pengawas ketenagakerjaan, yang seharusnya menjadi ujung tombak dalam memastikan setiap aturan ditaati dan dipatuhi oleh semua pengusaha, sering kali tidak memiliki sumber daya atau independensi yang memadai. Kondisi ini menyebabkan banyak pelanggaran di tempat kerja,mulai dari tidak dibayarnya upah sesuai ketentuan, pemutusan hubungan kerja sepihak, hingga pelanggaran hukum tentang kesehatan dan keselamatan kerja dibiarkan begitu saja tanpa tindakan berarti.

Selain itu, lemahnya sanksi terhadap para pelaku pelanggaran undang-undang tentang ketenagakerjaan juga menjadi masalah besar. Dalam banyak kasus diperusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran hukum ketenagakerjaan, hanya dikenakan sanksi ringan, bahkan sering kali hanya teguran, sehingga akibatnya tidak memberikan efek jera bahkan cenderung melakukan perbuatan mengulang.

Dampak berikutnya pengusaha nakal yang tidak bertanggung jawab merasa kebal hukum, tidak ada konsekuensi serius atas pelanggaran yang mereka lakukan. Kondisi ini menciptakan lingkungan kerja yang tidak sehat dan semakin memperburuk posisi tawar pekerja.

Ketidakadilan ini diperparah oleh lemahnya akses pekerja untuk memperoleh keadilan. Proses pengaduan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial sering kali berbelit-belit, memakan waktu lama, dan memerlukan biaya yang tidak sedikit jumlahnya, sebagai contoh seorang pekerja yang tinggal jauh dari ibukota provinsi dengan jarak kurang lebih 300 Km, tidak akan mampu melanjutkan gugatannya hingga kepengadilan, penyebabnya kepada mahalnya biaya yang harus dikeluarkan, yang meliputi biaya akomodasi yang terdiri dari biaya, transportasi, makanan dan minuman dan penginapan, belum termasuk biaya pendaftaran gugatan dan biaya jasa penasehat hukum dalam setiap kali persidangan dan biaya under table atau dibawah meja.

Kalau memang pemerintah memiliki kepekaan dan kepedulian kepada pekerja untuk memperoleh keadilan dan akses hukum seharusnya Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) ada disetiap Kabupaten/ Kota tidak tersentralistik di PPHI pada Pengadilan Negeri yang ada di ibukota Provinsi seperti kondisi sekarang ini.

Selain permasalahan pada mahalnya biaya untuk memperoleh keadilan dan akses hukum, pekerja yang ingin memperjuangkan haknya, juga sering dihadapkan pada birokrasi yang rumit dan keberpihakan aparat kepada pihak pengusaha dan keberpihakan pemerintah kepada pengusaha bukan lagi menjadi rahasia umum yang harus ditutup-tutupi.

Persoalan sulitnya mendapat keadilan ini akhirnya banyak pekerja memilih untuk menerima ketidak adilan tersebut karena khawatir akan dampak yang lebih buruk bagi kehidupan dan keluarganya, memilih untuk pasrah hak-haknya dicurangi oleh pengusaha.

Matinya penegakan hukum ketenagakerjaan bukan hanya berdampak pada pekerja secara individu, tapi juga menciptakan budaya ketidakadilan yang merusak tatanan sosial dan ekonomi. Pemerintah, pengusaha, dan masyarakat harus menyadari bahwa ketenagakerjaan yang adil dan manusiawi adalah pondasi bagi pembangunan yang berkelanjutan. Untuk itu, diperlukan komitmen yang kuat dari semua pihak untuk menghidupkan kembali penegakan hukum ketenagakerjaan, mengutamakan hak pekerja, memberikan sanksi tegas bagi pelanggar, serta memastikan sistem pengawasan yang efektif dan independen.

Tanpa penegakan hukum yang adil, para pekerja akan terus menjadi korban dari sistem yang timpang. Saatnya untuk mengubah keadaan ini dan memastikan bahwa setiap pekerja di Indonesia mendapatkan perlindungan yang mereka butuhkan dan layak terima.

Hukum ketenagakerjaan harus kembali ditegakkan dengan serius, demi mewujudkan keadilan sosial dan memastikan hak-hak pekerja dihargai dan dihormati.