Medan, KPonline – Perubahan sejati tidak lahir dari kompromi setengah hati atau reformasi yang hanya menyentuh permukaan tanpa membongkar akar ketidakadilan. Reformasi sering kali menjadi alat kosmetik bagi sistem lama, memberikan wajah baru tanpa benar-benar mengubah struktur yang menindas. Oleh karena itu, menjadikan reformasi sebagai dasar perubahan adalah kesalahan besar. Jalan perubahan yang sesungguhnya adalah revolusi.
Tan Malaka berpendapat bahwa revolusi adalah alat pembebasan rakyat dari penindasan guna menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Revolusi muncul secara alami ketika ketidakadilan sosial telah mencapai titik didih. Sementara itu, Aristoteles mendefinisikan revolusi sebagai perubahan yang terjadi dalam waktu singkat.
Dari kedua pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa revolusi adalah perubahan sosial yang mendasar, terjadi dengan cepat, dan bisa terjadi secara terencana atau tidak terencana, dengan atau tanpa kekerasan. Revolusi tidak sekadar mengganti pemimpin, tetapi membangun tatanan baru dari dasar, menghancurkan ketidakadilan yang mengakar, dan menciptakan sistem yang benar-benar berpihak pada rakyat.
Sejarah telah membuktikan bahwa hanya revolusi yang mampu menciptakan perubahan yang nyata dan mendasar. Salah satu contoh terbesar adalah Revolusi Prancis (1789–1799), yang meruntuhkan monarki absolut yang telah berkuasa selama berabad-abad. Revolusi ini tidak hanya menggulingkan raja, tetapi juga menghancurkan sistem feodalisme dan aristokrasi yang menindas. Dalam waktu singkat, rakyat Prancis mengalami transformasi sosial-politik yang dahsyat—terjadi redistribusi kekuasaan, lahirnya hak-hak sipil, dan terbentuknya pemerintahan baru yang lebih berpihak kepada rakyat.
Sejarah telah menunjukkan bahwa perubahan sejati tidak dapat dicapai dengan reformasi setengah hati, rakyat harus memilih tetap terjebak dalam lingkaran reformasi yang menyesatkan atau bergerak maju menuju revolusi demi keadilan sejati dan abadi. (MP)