Medan,KPonline, – Kondisi negeri ini semakin hari semakin mengenaskan. Korupsi telah menjalar ke hampir semua instansi dan lembaga pemerintah, merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Terbaru, skandal mega korupsi di PT Pertamina, salah satu perusahaan di bawah Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), mengungkap kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp 1.000.000.000.000.000 (satu kuadriliun rupiah) dalam lima tahun.
Angka ini sungguh fantastis, tetapi tragisnya, ia bukan lagi sesuatu yang mengejutkan. Kejahatan seperti ini terus berulang, seakan sudah menjadi bagian dari budaya di kalangan elite: “Wajib korupsi kalau mau selamat!”
Negeri ini seolah kehilangan kendali, tenggelam dalam pusaran korupsi yang bersumber dari berbagai faktor: rusaknya moral penyelenggara negara, budaya konsumtif dan hedonisme yang menggila, serta kegagalan sistem pendidikan dalam membentuk karakter bangsa. Namun, akar masalah ini lebih dari sekadar individu korup, ini adalah persoalan sistemik yang membelah negeri menjadi dua kubu yang saling berhadapan:
1.Kelompok Penguasa
Mereka adalah pelaku utama korupsi, rakus, tak bermoral, dan menjadikan jabatan sebagai alat memperkaya diri sendiri serta kroni-kroninya. Dengan kekuasaan yang mereka miliki, mereka bisa mengendalikan hukum, menekan rakyat, bahkan menjual negeri ini demi keuntungan pribadi.
2.Kelompok Rakyat
Sebagian besar rakyat adalah korban dari kejahatan ini. Mereka memiliki moral dan integritas, tetapi terus-menerus dirugikan oleh sistem yang korup.
Namun, pertanyaannya: apakah rakyat semata-mata korban, atau justru ikut andil dalam kejatuhan negeri ini?
Jawabannya pahit, tetapi harus diakui: rakyat juga bersalah.
Rakyat negeri ini telah lupa akan kekuatan dan kedaulatannya. Pemimpin culas yang kini berkuasa adalah hasil pilihan rakyat sendiri. Dengan suara yang mereka miliki, rakyat seharusnya memiliki kuasa penuh untuk menentukan siapa yang layak memimpin dan siapa yang tidak. Namun, berkali-kali rakyat jatuh dalam kebodohan yang sama,terlalu mudah menggadaikan suaranya demi kepentingan sesaat.
Fakta yang tak terbantahkan, setiap menjelang pemilu, para calon pemimpin berubah menjadi “Sinterklas”. Mereka membagi-bagikan uang receh, sembako, dan janji-janji manis dengan satu pesan sederhana:
“Pilihlah aku!”
Tragisnya, banyak rakyat yang menerimanya tanpa berpikir panjang.
Mereka tidak bertanya: Apakah ini bentuk kepedulian? Apakah mereka benar-benar dermawan? Atau ini sekadar investasi awal untuk merampok lebih besar kekayaan negara setelah berkuasa?
Logikanya sederhana: tidak ada orang yang menaburkan miliaran rupiah tanpa mengharapkan imbalan lebih besar.
Maka, pertanyaannya: dari mana asal uang yang mereka hamburkan?
Dari kantong pribadi? Tidak mungkin, sebab jika mereka jujur dan bersih, dari mana mereka memiliki dana sebesar itu?
Dari hasil korupsi sebelumnya? Kemungkinan besar.
Dari cukong atau mafia? Sangat mungkin.
Dari utang pihak ketiga? Bisa jadi, yang pasti nanti harus dikembalikan dengan kompensasi berupa proyek atau kebijakan yang menguntungkan mereka.
Saat rakyat menerima uang receh dan sembako, mereka sebenarnya telah menjual suara dan kedaulatannya sendiri. Mereka menyerahkan kendali negeri ini kepada para pencoleng dan perampok yang kemudian leluasa merampas kekayaan negara.
Lalu, kini apa yang tersisa untuk disesali?
Negeri ini terpuruk bukan hanya karena penguasa yang korup, tetapi juga karena kebodohan rakyatnya yang mudah diperdaya. Rakyat telah membiarkan integritas, martabat, dan kehormatannya dijual dengan harga yang sangat murah.
Benarlah kata orang bijak:
“Kebodohan adalah sumber dari segala malapetaka.”