Medan, KPonline, – Saat kapitalisme menguasai tanah-tanah subur negeri ini, rakyat adalah pihak yang sangat dirugikan. Salah satu dampak nyata dari penguasaan tanah-tanah tersebut adalah tentang ekspansi besar-besaran perkebunan kelapa sawit yakni hilangnya akses jalan yang selama ini menjadi jalur kehidupan masyarakat.
Jalan yang dulu menjadi penghubung antar kampung, akses menuju ladang, atau jalur anak-anak menuju sekolah kini berubah menjadi kawasan tertutup, dibatasi pagar dan portal yang dijaga ketat oleh petugas keamanan budaknya kapitalis kelapa sawit.
Didepan pos pengamanan portal baja itu terkunci rapat, masyarakat yang mau melintasi jalan wajib turun dan melapor, sejumlah pertanyaanpun diajukan oleh budaknya kapitalis tersebut, ” darimana, mau kemana, apa tujuan, berapa orang dan sebagainya hingga terkadang proses tanya jawab antara rakyat yang ingin melintas ini bisa memakan waktu hingga berjam-jam lamanya, dibeberapa tempat kerap juga ditemui para budak kapitalis sawit yang berseragam ini meminta sejumlah uang agar bisa melintas, sebagian ada yang sama sekali tidak memberikan izin melintas untuk kenderaan roda empat keatas, alasannya pun nosederhana” ini jalan milik perusaahaan dibangun memakai uang perusahaan bukan jalan umum,silahkan lewat jalan umum”
Rakyat serba salah, mau lewat jalan umum kondisi jalan sangat memprihatinkan, disana sini berlubang tergenang air terlihat mirip seperti kolam-kolam ikan, standar ketahanan jalan tidak sesuai diakibatkan pembangunan jalan sudah menyimpang dari spesifikasinya, dan ini bisa dimaklumi mengapa kondisi jalan cepat hancur sebelum waktunya, semuanya terjadi karena para pejabat negeri dan kontraktornya masih banyak yang hobby memakan krikil, pasir, batu, semen dan aspal, ditambah truk-truk bertonase melebihi daya dukung jalan milik kapitalis perkebunan sawit juga bebas melintas.
Di banyak daerah, khususnya wilayah-wilayah pedesaan yang menjadi target ekspansi perkebunan kelapa sawit, cerita-cerita serupa sering terdengar. Perusahaan kelapa sawit dengan kekuatan modal yang besar kerap membeli atau mengklaim lahan secara sepihak, mengabaikan keberadaan jalan-jalan umum yang telah digunakan masyarakat selama bertahun-tahun. Dengan dalih “mengamankan aset” atau “meningkatkan produktivitas,” akses jalan umum itu dialihkan menjadi jalan privat yang hanya bisa dilewati oleh kendaraan perusahaan.
Bagi masyarakat, akses jalan bukan sekadar jalur fisik, tetapi juga bagian dari keberlangsungan hidup. Petani kecil kehilangan jalan untuk mengangkut hasil panennya,
anak-anak yang ingin bersekolah harus menempuh rute lebih jauh dan berbahaya. Bahkan, dalam kondisi darurat seperti membawa orang sakit ke fasilitas kesehatan, keterbatasan akses jalan bisa menjadi ancaman serius.
Lebih ironis lagi, proses penguasaan tanah ini sering kali dibungkus dengan dalih “pembangunan” dan “investasi.” namun pada kenyataannya, pembangunan tersebut justru mempersempit ruang hidup rakyat, menghilangkan hak-hak mereka atas tanah adat, jalan umum, dan lingkungan.
Untuk membatasi kekuasaan dan menghapus kekejaman para kapitalis kelapa sawit yang biadab ini sudah saatnya rakyat bersikap kritis dan tegas.Rakyat bekerjasama dengan seluruh elemen-elemen keorganisasian masyarakat lainnya harus segera melalukan perlawanan, atas penguasaan tanah yang tidak adil ini. Rakyat tidak boleh terus-menerus menjadi korban dari keserakahan kapitalisme kelapa sawit ini, rakyat tidak lagi perlu menunggu ada tindakan nyata dan kongkrit dari pemerintah, tidak perlu melapor dan meminta perlindungan kepada DPR, sebab antara kapitalis perkebunan kelapa sawit, pemerintah dan DPR tidak ada bedanya, hubungan mereka setali tiga uang, penghianat dan penghisap darah rakyat.
Sebagai bentuk perlawanan, pengorganisasian rakyat menjadi kunci. Ketika suara rakyat bersatu, perusahaan besar sekalipun tidak akan bisa mengabaikan tuntutan keadilan. Tanah dan jalan adalah milik bersama, bukan alat eksploitasi segelintir orang. Jika tidak ada langkah tegas, maka rakyat akan terus kehilangan akses, tidak hanya ke jalan, tetapi juga ke masa depan yang lebih baik.
“Perlawanan harus terus digaungkan: Tanah untuk rakyat, jalan untuk semua”