Medan, KPonline – Pada hakikatnya, buruh dan pengusaha adalah manusia yang sama-sama memiliki hak atas kehidupan yang layak, penghormatan, dan martabat. Perbedaan di antara keduanya hanya terletak pada status sosial. Buruh sering kali dikategorikan sebagai bagian dari masyarakat miskin, sementara pengusaha termasuk dalam golongan orang berpunya atau kaya raya.
Dalam menjalani kehidupan, buruh harus bekerja keras demi mendapatkan upah yang layak. Oleh karena itu, keberadaan upah menjadi penopang utama dalam memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka beserta keluarganya. Dengan demikian, upah merupakan elemen yang sangat penting dalam kehidupan buruh.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak buruh yang belum sepenuhnya memahami peran strategis upah dalam kehidupan mereka. Akibatnya, ketika pengusaha bekerja sama dengan pemerintah untuk mengutak-atik kebijakan upah dengan cara yang tidak berpihak pada buruh, hanya segelintir buruh yang berani melawan melalui aksi unjuk rasa. Sebagian besar buruh lainnya hanya diam dan pasrah saat hak mereka dipermainkan.
Padahal, jika seluruh buruh di negeri ini bersatu melakukan perlawanan melalui aksi-aksi industrial, peluang untuk merealisasikan tuntutan atas upah yang layak, cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup, akan menjadi lebih besar.
Upah bukan sekadar angka. Ia adalah urat nadi yang menghidupkan harapan dan menjaga keberlangsungan hidup. Dengan upah yang layak, buruh dapat memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, spiritual, sosial, hiburan, hingga jaminan kehidupan di hari tua. Upah yang layak juga memberikan stabilitas dan kesejahteraan, sehingga buruh dapat menjalani hidup dengan martabat sebagai manusia setara dengan pengusaha, sekaligus menjaga optimisme mereka.
Sebaliknya, jika upah yang diterima jauh dari layak, berbagai aspek kehidupan buruh akan terganggu. Kebutuhan dasar tak terpenuhi, tekanan ekonomi meningkat, dan kualitas hidup menurun. Ketidakpastian ini tidak hanya memengaruhi buruh secara individu, tetapi juga keluarganya, dan bahkan turut berkontribusi pada ketidakstabilan sosial secara lebih luas.
Karena itu, perjuangan untuk menuntut upah layak bukanlah tanggung jawab segelintir buruh yang terus bersuara, berteriak, dan melakukan aksi unjuk rasa. Mereka yang sering kali mengalami cedera akibat tindakan represif, baik dari aparat maupun preman bayaran, adalah pahlawan dalam perjuangan ini. Meski demikian, tanggung jawab perjuangan ini seharusnya menjadi milik seluruh kaum buruh di negeri ini.
Tidaklah pantas jika masih ada buruh yang berstatus PNS (Penitip Nasib Sejati) yang hanya bergantung pada nasib tanpa ikut berjuang. Perjuangan ini adalah milik bersama, demi martabat dan kesejahteraan buruh di seluruh Indonesia.
” Diam kita Mati, Berhenti Kita Ditindas, Maka Bergeraklah, Lawan… Lawan… Dan… Teruslah… melawan…”