Jakarta, KPonline – Arus balik. Para pekerja akan segera kembali ke pabrik.
Arus balik menandai musim liburan sudah usai. Apa yang tersisa dari pergerakan ratusan ribu orang yang mudi ke kampung halaman?
Saya melihat ada semangat yang menyala. Karena itulah, spirit lebaran harus kita jaga. Kebersamaan dengan keluarga. Pertemuan dengan kawan-kawan melalui silaturahmi dan berbagai forum reuni. Bahkan di banyak tempat, pada bulan-bulan ini juga akan sering diselenggarakan halal bi halal. Berkumpul, berjabat tangan saling memaafkan.
Dalam narasi yang lain, lebaran adalah tentang kebahagiaan. Pada titik ini kita akan semakin mengerti tentang arti keluarga. Dicintai dan mencintai. Nilai-nilai kebersamaan, saling asih dan asuh.
Pada hari-hari sebelum ini, seberapa sering kita terlalu sibuk sendiri? Berangkat pagi pulang petang. Menjadi sosok yang egois dan hanya mementingkan diri sendiri. Bahkan tak peduli dengan lingkungan sekitar. Miskin empati. Tak malu menikmati hasil perjuangan orang lain.
Usai liburan ini, berjanjilah pada diri sendiri untuk menuntaskan segala janji. Untuk terus menguatkan ikatan kebersamaan, saling bersolidaritas, dan saling memaafkan antar kawan seperjuangan.
Sebelum kita tinggalkan untuk mudik, bukankah kita meninggalkan banyak tugas yang belum terselesaikan? Inilah saatnya untuk menata langkah. Memantapkan hati untuk berjuang lebih keras lagi.
Ada baiknya kita merenungi kalimat Puthut EA, tentang seorang murid yang tercenung di beranda langgar padepokan saat Ramadhan hampir paripurna.
Melihat itu, tulis Puthut, sang Guru mendekat. “Kenapa kamu tampak bersedih, Nak?”
Si Murid terkesiap. Dia mencoba tersenyum. Tapi airmatanya yang semula tergenang justru jatuh berleleran di kedua pipinya. Saking malunya, kedua tangannya sibuk menghapus airmata itu.
“Jangan kau hapus airmatamu. Biarkan dia jatuh. Menangis membantu membersihkan hatimu. Kenapa kamu bersedih, Nak?”
Si Murid berusaha menjawab. Tapi tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.
“Karena Ramadan akan pergi?” tanya Sang Guru seperti menebak.
Mendengar itu, Si Murid mengangguk cepat. Sang Guru lalu mengambil parang kecil yang tergeletak di undakan langgar, parang yang sedianya akan dipakai Si Murid untuk mencari bambu, membuat obor, merayakan Lebaran bersama orang kampung di sekitar padepokan.
“Bagaimana bisa parang ini begitu tajam, Nak?”
“Saya mengasahnya, Guru…”
“Saat kamu mengasah parangmu, itulah Ramadan.”
Lalu Sang Guru selangkah lagi mendekati Si Murid. “Kamu gunakan untuk apa saja parang ini, Nak?”
“Untuk ke kebun, Guru. Membersihkan semak, mencari kayu bakar, mengambil kelapa…”
“Itulah bulan-bulan selain Ramadan.” potong Sang Guru. “Kalau parang sudah kamu asah, tapi tidak kamu pakai bekerja di kebun, apakah ketajaman parang itu berfaedah?”
“Tidak, Guru…”
“Lalu kenapa kamu tangisi Ramadan? Padahal telah membentang di depanmu bulan-bulan yang panjang, yang siap menerima hadiah dari tajamnya pikiran, kedalaman hati, dan beningnya perasaan yang kamu asah selama satu bulan ini? Bersedih boleh. Tapi secukupnya. Selebihnya kamu harus kembali bergembira karena alat kerjamu sudah dibersihkan dan ditajamkan.”
Maka, inilah saat untuk kembali ke medan laga. Berjuang dengan sepenuh tenaga.