Semarang, KPOnline – Menjelang aksi unjuk rasa buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) yang rencananya akan digelar pada hari Kamis (6/6/2024) di depan Kantor Gubernur Provinsi Jawa Tengah, Dewan Pimpinan Wilayah Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (DPW FSPMI) Provinsi Jawa Tengah segera menggelar rapat koordinasi dengan PUK-PUK yang ada di kota Semarang pada hari Selasa (4/6/2024).
Bertempat di Kantor Sekretariat DPW FSPMI Jawa Tengah, rapat koordinasi yang di hadiri langsung oleh Ketua DPW FSPMI Provinsi Jawa Tengah ini selain untuk membahas teknis lapangan aksi juga memberikan sedikit gambaran kenapa aksi tersebut harus dilakukan.
Aulia Hakim selaku Ketua DPW FSPMI Provinsi Jawa Tengah dalam sambutannya menyampaikan hal tersebut. Dari beberapa alasan yang disampaikannya yang pertama adalah mengenai ketidakpastian dari manfaat program tersebut, dirinya mencontohkannya dengan buruh yang ada di Kota Semarang dengan UMK sebesar 3,2 jutaan.
“Logikanya begini misal seorang pekerja dari fresh graduate lulusan S1 langsung masuk ke Perusahaan di usia 23 tahun, kemudian dari 23 tahun mencapai usia pensiun 58 tahun berarti memiliki masa kerja 35 tahun. Pertanyaannya ada gak harga rumah yang seharga dengan besaran iuran yang terkumpul selama 35 tahun melalui pemotongan sebesar 3% tersebut? Pastinya tidak ada. Hal ini berarti buruh setelah mencapai usia 58 tahun tidak ada kepastian juga untuk dapat mendapatkan sebuah rumah” ujarnya.
Yang kedua, Aulia Hakim juga tidak menampik masalah kekhawatiran buruh terhadap uang simpanannya kelak setelah mencapai usia 58 tahun masih ada atau tidaknya, mengingat pemberitaan yang telah lama beredar mengenai simpanan ASABRI yang juga bermasalah.
“Tidak ada salahnya pula dari buruh khawatir ketika mencapai usia 58 tahun uangnya masih ada atau tidaknya, jangan-jangan setelah mencapai usia 58 tahun, uang simpanan yang notabene akan dipergunakan malah tidak ada”, lanjutbya.
Dan yang ketiga adalah masalah ketidakjelasan dari bentuk TAPERA itu sendiri, merupakan Tabungan Sosial atau Bantuan Sosial? Karena iuran dari buruh 2,5%, iuran dari pengusaha 0,5% sedangkan dari pemerintah hanya mengumpulkan saja tidak ikut iuran. Dirinya sampai menyamakan pemerintah seperti rentenir, saking tidak ada kata lain untuk penyebutannya.
“Apakah Tapera ini nantinya berbentuk tabungan sosial atau bantuan sosial khan tidak ada kejelasan mengenai masalah ini. Kita dari buruh iuran 2,5% dan dari pengusaha 0,5% terus diambil oleh pemerintah. Sedangkan pemerintah hanya ngumpulin uang tapi gak ikut ngiur. Kan kayak rentenir ”, ucapnya kesal.
Alasan-alasan itulah yang dikemukakan Aulia Hakim dalam rapat koordinasi tersebut mengapa dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia menolak Tapera, apalagi aturan yang berubah mengenai kepesertaan Tapera, dimana aturan sebelumnya yang sifatnya sukarela, di PP no 21 tahun 2024 ini menjadi wajib baik yang sudah memiliki rumah maupun belum memiliki rumah. (sup)