Surabaya, KPonline – Setelah sebelumnya mengupas bagaimana peran dan beban BPJS Kesehatan dalam situasi Pandemi. Penanganan Pandemi Covid-19 ini ternyata juga melibatkan dan memberikan dampak pada BPJS Ketenagakerjaan.
Seberapa jauh keterlibatan BPJS Ketenagakerjaan dalam membantu peserta di masa Pandemi? Seberapa efektifkah mengupayakan kesejahteraan peserta dan akankah berdampak pada suistainbilitas program? Inilah pengamatan Jamkeswatch
A. Membayar klaim JKK – JKm
Peserta BPJS Ketenagakerjaan yang mengalami resiko meninggal dunia atau kecelakaan kerja, berhak mendapatkan beberapa manfaat program. Hal itu sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2019 tentang Perubahan Atas PP Nomor 44 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian.
Manfaat program JKK JKm meliputi : santunan, pengobatan/perawatan, biaya transportasi, penggantian alat kesehatan, pemakaman hingga beasiswa bagi anak peserta. Jika ditotal manfaat program JKK sekitar 174 Juta, sedangkan program JKM sebesar 42 juta. Sungguh sebuah paket perlindungan yang lengkap dan sangat bermanfaat bagi peserta maupun keluarganya.
Bagi para pekerja yang meninggal dunia karena terpapar Covid atau sebab lainnya, program JKm BPJS Ketenagakerjaan akan memenuhi hak peserta. Sedangkan hak JKK bagi pekerja di masa Pandemi Covid-19, masih terjadi silang pendapat dan belum ada penjelasan detail. Misalnya, penularan virus di area kerja atau efek KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) dari vaksinasi yang diberikan oleh pemberi kerja, dapatkah dikategorikan sebagai Penyakit Akibat Kerja (PAK) yang nantinya tertanggung JKK?
Hanya saja, bagi Tenaga Kesehatan (Nakes), tenaga pendukung sarana kesehatan serta penyediaan alkes yang terpapar/terpajan virus Covid-19. Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor M/8/HK.04/V/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh Dalam Program Jaminan Kecelakaan Kerja Pada Kasus Penyakit Akibat Kerja Karena Covid-19, dapatlah dijadikan pijakan ketika mereka terinfeksi virus agar tertanggung dalam program JKK.
Berlandaskan SE tersebut serta sesuai Peraturan Presiden RI Nomor 7 Tahun 2019 tentang Penyakit Akibat Kerja. Tenaga kesehatan, tenaga pendukung dan penyediaan alkes yang tertular hingga meninggal dunia, mulai dari perawatan, pengobatan dan pemakaman semua tertanggung dalam program JKK.
Kebijakan itu pun menimbulkan serentetan pertanyaan. Apakah iya, mereka semua sudah terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan? Apakah mereka dan petugas medis dilapangan memahami dan bisa melaksanakan? Bagaimana pula cara membedakan dimana mereka terpajan virus? Bagi peserta sektor lain yang juga memungkinkan terpapar di area kerja apakah ini termasuk diskriminasi?.
Sungguh begitu kompleks untuk diuraikan dan diaplikasikan. Selain itu kemungkinan dispute klaim antara BPJS Ketenagakerjaan dengan pembiayaan Pandemi yang ditanggung Kemenkes juga sangat rawan terjadi. Besar kemungkinan malah tumpang tindih.
Sama seperti di BPJS Kesehatan, hingga hari ini belum ada laporan, rilis ataupun indikator, baik untuk Nakes maupun pekerja lainnya. Berapa jumlah mereka yang terpapar? Berapa jumlah yang meninggal atau mengalami penyakit akibat kerja? Berapa banyak anak peserta yang telah menerima beasiswa akibat Pandemi? Berapa total klaim ke BPJS Ketenagakerjaan? Serta bagaimana penjelasan dan pelaksanaan irisan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) pada situasi Pandemi seperti ini? Semoga saja ada pencerahan dari pihak terkait.
B. Penyesuaian (Relaksasi) Iuran
Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2020 tentang Penyesuaian Iuran Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Selama Bencana Non Alam Penyebaran Corona Virus Disease (Covid-19). Pemerintah meminta BPJS Ketenagakerjaan untuk melakukan relaksasi, yang telah dilaksanakan dari bulan Agustus 2020 hingga Pebruari 2021.
Tujuan relaksasi Iuran dikatakan sebagai salah satu upaya pemerintah untuk meringankan beban para pelaku usaha dan pekerja, sehingga secara tidak langsung dapat mempertahankan keberlangsungan usaha dan menjamin keberlanjutan perlindungan jaminan sosial bagi pekerjanya maupun dirinya sendiri.
Adapun Penyesuaian Iuran BPJS Ketenagakerjaan ini berupa :
a. Kelonggaran batas waktu pembayaran Iuran JKK, Iuran JKM, Iuran JHT, dan Iuran JP setiap bulan;
b. Keringanan Iuran JKK dan Iuran JKm; dan
c. Penundaan pembayaran sebagian Iuran JP.
Khusus pada program JKK JKm, keringanan yang dimaksud tidak ubahnya diskon besar-besaran hingga 99%. Iuran JKK yang awalnya maksimal 1,74% dari upah, diubah menjadi 0,0174% dari upah. Iuran JKm yang awalnya 0,30%, dipangkas menjadi 0,003% atau iuran bagi BPU/pekerja informal sebesar Rp. 6800,- hanya menjadi Rp. 68,- per bulan.
Artinya hanya dengan membayar 0,0174% dari upah (menggunakan UMK Surabaya sekitar Rp. 7.500,-) peserta berhak menerima 174 juta. Hanya mengiur 68 rupiah, peserta mendapatkan 42 juta rupiah. Sangatlah fantastis!, tidak ada satupun lembaga penjamin di dunia yang bisa seperti ini.
Di lain sisi keringanan iuran ini menguntungkan pemberi kerja, tetapi malah membebani BPJS Ketenagakerjaan. Melalui kebijakan ini pemerintah dianggap sengaja mereduksi makna jaminan sosial dan menutup mata untuk menutupi kekurangan iuran yang seharusnya tetap diterima Badan Penyelenggara.
Bertolak belakang dengan tujuannya, belum ada kejelasan dari kebijakan ini berapa besar lost income dan jumlah pemberi kerja yang menunggak atau tidak membayar iuran. Bagaimana pula sanksi/denda bagi mereka yang tidak patuh. Padahal ujungnya jelas, peserta/pekerja yang perusahaannya tidak melunasi, tidak akan mendapatkan haknya berupa klaim santunan dan sebagainya.
Peserta/pekerja berpotensi besar dirugikan bahkan kehilangan atas hak perlindungan sosialnya.
C. Bantuan Subsidi Upah (BSU)
Pemerintah juga meminta BPJS Ketenagakerjaan membantu penyediaan data untuk menyalurkan Bantuan Langsung Tunai berupa Bantuan Subsidi Upah (BSU) yang diperuntukkan bagi pekerja yang terdampak Pandemi.
Penyaluran BSU termin pertama dilakukan dalam rentang waktu bulan Agustus hingga Oktober 2020, realisasinya mencapai 12,29 juta penerima atau 99,11% dengan anggaran Rp 14,7 triliun. Pada termin pertama tersebut yang belum tersalurkan mencapai 110.762 orang pekerja.
Untuk termin kedua, penyaluran dimulai pada bulan November hingga Desember 2020. Adapun realisasi penyaluran sebanyak 12,24 juta atau 98,71% dengan anggaran Rp 14,6 triliun. Sementara yang belum tersalurkan terdapat 159.727 orang pekerja.
Tahun 2021 ini, pemerintah telah menyalurkan BSU termin ketiga, sedikitnya dana 8,8 triliun sudah dianggarkan untuk 8,79 juta pekerja. Adapun kriteria penerima BSU mengalami perubahan, dari mulai batasan upah, besaran nominal bantuan, sektor industri dan wilayah penerima sesuai Inmendagri Nomor 22 Tahun 2021 tentang PPKM Level 4 di Wilayah Jawa-Bali.
Pertanyaan serius ditujukan pada akurasi data base penerima BSU termin 1 dan termin 2. Sedangkan di termin 3, disoroti pembagian sektor dan area PPKM yang tidak jelas pada penerima BSU. Realitasnya di termin 1 dan 2, ditemukan penerima salah sasaran bahkan pedagang pasar dan perangkat desa menerima BSU.
Adapun termin 3, seiring perpanjangan PPKM dan perbedaan sektor, lampiran Permenaker 16 tahun 2021 dipandang tidak mencerminkan kondisi riil dan ketepatan sasaran penerima. Banyak daerah yang akhirnya tidak mendapatkan BSU. Selain itu segmen pekerja migran, pekerja informal dan pekerja Jasa kontruksi juga tidak mendapatkannya.
Meskipun bukan pemberi bantuan, tak pelak BPJS Ketenagakerjaan menjadi sasaran kekecewaan masyarakat tentang keakurasian data dan ketidak tepatan sasaran penerima BSU. Anehnya institusi penanggung jawab malah lepas tangan.
D. Menjalankan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP)
Program JKP lahir melalui UU Cipta Kerja No.11 tahun 2020. Tujuannya untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak pada saat pekerja/buruh kehilangan pekerjaan. Dari program JKP, pemerintah menawarkan manfaat manfaat berupa uang tunai selama 6 bulan setelah PHK, akses informasi bursa kerja dan paket pelatihan online maupun offline.
Perlu dipahami, program JKP hadir dengan kondisi dan jalur khusus diluar Sistem Jaminan Sosial Nasional yang telah ada. Hal ini menyebabkan sedikit disorientasi dan disharmoni terhadap filosofi, azas, prinsip dan tujuan Jaminan Sosial. Pelaksanaan dilapangan pun menjadi lebih rumit dan kompleks, jelas membutuhkan penanganan dan perlakuan khusus yang menguras banyak waktu serta energi dari badan penyelenggara.
Manfaat JKP sendiri diperuntukkan bagi pekerja yang BUKAN karena mengundurkan diri, cacat total tetap, pensiun, meninggal dunia, dan PKWT yang masa kerjanya sudah habis sesuai kontrak. Malangnya bertepatan pada kondisi Pandemi ini, banyak para pekerja yang dirumahkan atau terputusnya kontrak kerjanya. BPJS Ketenagakerjaan pun dihadapkan pada beban pengeluaran klaim yang besar.
Berkaca dari data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menyebutkan, ada 29,4 juta orang pekerja terdampak pandemi Covid-19. Jumlah itu termasuk mereka yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dirumahkan tanpa upah hingga pengurangan jam kerja dan upah. Sampai dengan November 2020, BPJamsostek mencatat ada 2,72 juta kasus dengan nilai klaim mencapai Rp33,79 triliun.
Memperhatikan fakta bahwa :
1. JKP adalah bentuk pengalihan hak dari uang pesangon para pekerja.
2. Bukanlah termasuk jaminan sosial namun lebih tepatnya bantuan sosial.
3. Tidak memberikan manfaat pasti dan iuran pasti yang akan diterima peserta.
4. . Tidak untuk semua peserta BPJS Ketenagakerjaan.
5. Rawan terjadi subsidi silang antar program.
6. Berpotensi merugikan peserta dan Badan Penyelenggara.
7. Tidak seusai filosofi, azas, prinsip dan tujuan Jaminan Sosial.
Maka dapatlah dipahami kiranya, jika banyak pekerja/Serikat Pekerja menilai program JKP hanyalah program rekayasa yang tidak akan berjalan secara optimal dan menuai banyak masalah.
E. Merekomposisi iuran JKK dan JKM
Karena program JKP tidak memungut iuran dari peserta maupun pemberi kerja, maka untuk mengisi dana dan menjaga keberlangsungan program, pemerintah terpaksa melakukan rekomposisi iuran dari program yang telah ada di BPJS Ketenagakerjaan.
Iuran JKP sebagaimana ditetapkan di PP 37/2021 adalah sebesar 0,46% dari upah terlapor perbulan Pekerja/Buruh, dengan ketentuan:
1. 0,22% dari Upah sebulan, ditanggung oleh Pemerintah Pusat;
2. 0.24% ditanggung oleh perusahaan dengan komposisi berikut : 0,14% dari Upah sebulan, bersumber dari rekomposisi iuran program JKK dan 0,10% dari Upah sebulan, bersumber dari rekomposisi iuran program JKM.
Diambilnya iuran dari program JKK dan JKM didasarkan pada penghitungan aktuaria terkait kecukupan dana dan minim klaim di kedua program. Sayangnya perhitungan tersebut terkesan belum mempertimbangkan situasi Pandemi seperti saat ini.
Hanya karena mengejar insentif bagi dunia usaha dan mempertahankan program JKP, rekomposisi iuran menjadikan pendarahan akut bagi keuangan BPJS Ketenagakerjaan di masa depan. Frasa “Peserta adalah mereka yang membayar iuran” mungkin perlu ditambahkan, “dan atau yang telah di rekomposisi iurannya”.
RESUME
BPJS Ketenagakerjaan adalah garda terdepan dan pondasi terakhir bagi kaum pekerja buruh untuk mempertahankan derajat kesejahteraannya. Dengan keberadaan BPJS Ketenagakerjaan, Negara menegaskan pentingnya perlindungan sosial bagi kaum pekerja.
Sudah tepat kiranya, BPJS Ketenagakerjaan mengambil peran dalam situasi Pandemi, namun perlu adanya demarkasi yang jelas agar tidak terjadi ketimpangan dan tumpang tindih pelaksanaan.
Dari penjabaran diatas nyaris dapat dipastikan, akibat dampak Pandemi pelayanan dan klaim pembiayaan ke BPJS Ketenagakerjaan akan mengalami peningkatan secara signifikan. Hal itu akan berimbas pada kualitas layanan, ketahanan dana dan keberlangsungan program.
Ini berarti alarm tanda bahaya bagi BPJS Ketenagakerjaan telah dinyalakan. Perlu segera dilakukan monitoring dan evaluasi serta berhati-hati dalam hal tata kelola dan antisipasi. Sebab selain hal yang telah disebutkan, BPJS Ketenagakerjaan masih menyimpan beberapa tugas dan masalah secara internal maupun eksternal yang harus diselesaikan. Contoh terdekatnya adalah penambahan iuran JKP, Integrasi Asabri/Taspen, investasi SWF, wacana peserta penerima bantuan iuran (PBI) dan lainnya.
Selaku penyelenggara, BPJS Ketenagakerjaan adalah “prajurit pengawal” yang harus berdiri untuk membela kepentingan dan bekerja untuk kesejahteraan peserta. Tiap rupiah Dana Jaminan Sosial yang dikumpulkan adalah dana amanah milik para peserta, yang harus dikelola dan dipertanggungjawabkan.
Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) harus lebih intens dan responsif terutama pada situasi diluar kebiasaan seperti ini. Seluruh pihak perlu memperhatikan secara serius, sebab erat hubungannya dengan pemenuhan hak peserta, ketahanan dana dan keberlangsungan program. Dalam Pandemi, kita tidak boleh kehilangan orientasi dan kejernihan berpikir serta tetap berpatokan pada norma-norma yang ada.
Sangat ironis kiranya, jika Badan Penyelenggara yang mengelola dana ratusan triliun rupiah, harus limbung dan berputar haluan ditengah Pandemi. Jaminan sosial adalah jaring pertahanan terakhir pengaman kesejahteraan, tanpa itu bagaimana bisa dikatakan sejahtera?
Kondisi Pandemi harus dijadikan pelajaran dan titik awal perbaikan sistem secara menyeluruh. Dikala masyarakat lolos/lepas dari jaminan sosial, tidak hanya harkat dan martabat bangsa yang hilang karena mengingkari amanah kemerdekaan, namun juga akan menghancurkan tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara menuju adil makmur sejahtera.
Ipang Sugiasmoro
Jamkeswatch Jawa Timur