Purwakarta, KPonline – Meraih terciptanya kesejahteraan anggota dan keluarganya, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) tentu memiliki capai-capaian yang terukur dan feasible.
Dan yang menjadi fokus perjuangan buruh FSPMI dalam memperoleh hidup layak menuju kesejahteraan selama ini adalah upah. Karena menurut kelas pekerja atau kaum buruh upah merupakan urat nadi.
Untuk itu, Dewan Pimpinan Wilayah Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (DPW FSPMI) Jawa Barat adakan rapat koordinasi (Rakor), bahas strategi perjuangan upah minimum kabupaten/kota (UMK) dan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK) 2025 di Kantor Konsulat Cabang FSPMI Purwakarta. Selasa, (5/11/2024).
Dalam giatnya, diskusi (tanya jawab) serta masukan masukan terkait ide atau gagasan prihal perjuangan upah minimum 2025 pun disampaikan peserta rapat yang berasal dari jajaran pengurus Dewan Pimpinan Wilayah FSPMI Jawa Barat serta Konsulat Cabang FSPMI se-Jawa Barat.
Suparno sebagai Ketua DPW FSPMI menyampaikan dalam rapat bahwa sampai saat ini dewan pengupahan provinsi (Depeprov) sudah sering mengadakan pertemuan, namun hanya sebatas evaluasi.
Selanjutnya dalam rapat Ia pun mengintruksikan kepada seluruh dewan pengupahan (Depekab/Depeko); untuk segera lakukan audiensi dan dengan segera lakukan rapat dewan pengupahan prihal kenaikan upah minimum (UMK/UMSK) 2025.
Kemudian menurutnya, pasca putusan MK, ada indikasi pemerintah tetap akan menggunakan PP 51, karena dalam putusan MK itu tidak menyebut mencabut PP 51.
“Untuk itu pada 7 November kita (FSPMI) akan kepung Kemenaker dan 12 November, kepung kantor Disnakertrans disetiap kabupaten/kota se-wilayah Jawa Barat,” tegas Suparno.
Dikesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal FSPMI Sabilar Rosyad mengatakan bahwa, seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengabulkan sebagian besar permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).
Dalam keputusan itu, kata Rosyad; salah satu dalil yang ditetapkan adalah menyangkut penetapan upah pekerja, yaitu atas pasal 88 UU Cipta Kerja.
Dimana, MK menyatakan Pasal 88 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU Ciptaker yang menyatakan, “Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai, “dengan melibatkan dewan pengupahan daerah yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan yang menjadi bahan bagi pemerintah pusat untuk penetapan kebijakan pengupahan.
“Itu berarti kebutuhan hidup layak (KHL) menjadi acuan penghitungan upah minimum,” pungkas Sabilar Rosyad.