Oleh : Yanto
“Buruh yang bekerja dengan tenaga dan keringatnya, Pengusaha yang mendapatkan profit dan membayar upah, Pemerintah yang menerima pajak dari buruh dan pengusaha, Apindo yang sibuk tidak sepakat”
Permasalahan kenaikan upah buruh setiap akhir tahun selalu menjadi perdebatan, buruh di Indonesia begitu terhimpit dengan berbagai peraturan yang ditetapkan pemerintah, buruh tak ubahnya dianggap sebagai beban negara. Padahal mereka merupakan aktor utama dalam pertumbuhan ekonomi nasional.
Di sisi lain, buruh memiliki segudang masalah serius yang belum terselesaikan sepenuhnya dampak dari aturan yang selalu diubah oleh pemerintah. Mereka tidak punya ruang untuk bergerak bebas, ibaratnya maju kena, mundur pun kena.
Buruh atau masyarakat kelas menengah merupakan kelompok sosial yang memiliki tingkat pendapatan dan pendidikan yang berada di antara kelas bawah dan kelas atas. Secara umum, buruh memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Di Indonesia, buruh atau masyarakat kelas menengah sering diasosiasikan dengan kelompok yang memiliki gaya hidup yang lebih nyaman dan stabil dibandingkan kelas bawah, namun belum mencapai kemewahan yang dimiliki oleh kelas atas. Mereka juga cenderung memiliki pekerjaan dengan gaji tetap dan mampu menyisihkan sebagian dari penghasilannya untuk tabungan atau investasi.
Informasi Badan Statistik Nasional jumlah kelas menengah dan menuju Kelas menengah di Indonesia pada tahun 2024 sebanyak 66,35 persen dari total penduduk Indonesia. Nilai konsumsi pengeluaran dari kedua kelompok tersebut mencakup 81,49 persen dari total konsumsi masyarakat. Oleh karena itu, Kelas Menengah memiliki peran krusial sebagai bantalan ekonomi nasional.
“Kita sama-sama memahami bahwa penguatan daya beli diperlukan tidak hanya untuk kelompok miskin, tetapi untuk kelompok kelas menengah dan menuju kelas menengah. Kalau kelas menengah dan menuju kelas menengah kuat, maka daya beli masyarakat secara keseluruhan akan menjadi kuat,” jelas Plt. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti saat Press Conference BPS tentang kondisi kelas menengah di Indonesia sore ini (30/8).
Sementara dikutip dari berbagai sumber menurut Bank Dunia, pengeluaran bulanan mereka, berdasarkan penelitian Bank Dunia, berkisar antara 1.200.000 hingga 6.000.000 rupiah, sementara kelompok menuju kelas menengah menghabiskan sekitar 532.000 hingga 1.200.000 rupiah. Sayangnya, gaji mereka relatif stagnan dipotong untuk pajak maupun asuransi.
Ini menunjukkan bahwa inflasi bahan pangan jauh melampaui kenaikan gaji buruh, yang menggerus daya beli mereka dan memaksa mereka untuk menguras tabungan guna memenuhi kebutuhan hidup.
Namun di mata pemerintah Buruh/kelompok kelas menengah ini seolah “dianaktirikan” dari kelompok kelas bawah maupun atas. Masyarakat kelas bawah sangat diistimewakan pemerintah melalui berbagai bantuan sosial atau bantuan langsung tunainya. Saking istimewanya, pemberian bantuan ini tidak tepat sasaran dan orang-orang liciklah yang kecipratan kecerobohan pemerintah dalam penyaluran BLT.
Di lain pihak, masyarakat kelas atas sangat dimudahkan dalam berbagai urusan seperti investasi, pembangunan-pembangunan ilegal, maupun dalam hal pembayaran pajak. Parahnya lagi, masyarakat kelas atas jauh lebih mudah “bekerja sama” dengan aparat untuk memuluskan kehendaknya.
Jika penderitaan buruh atau masyarakat kelas menengah terus berlanjut, maka akan menjadi bahaya bagi Indonesia. Ketika daya beli masyarakat menengah menurun dan tingkat belanja serta konsumsi terusik, maka aktivitas ekonomi negara akan terguncang. Ekonomi yang melemah menyebabkan pengangguran dan kemiskinan yang berujung pada kesenjangan kesejahteraan masyarakat.
Berbagai krisis pun siap menerjang jika ekonomi lesu akibat tertekannya daya beli kelas menengah. Ditambah lagi fakta bahwa sepertiga dari total tingkat konsumsi Indonesia berasal dari konsumsi buruh/masyarakat kelas menengah.
Untuk memperbaiki keadaan ini, beberapa solusi yang bisa dipertimbangkan antara lain adalah peningkatan daya beli melalui kenaikan upah minimum provinsi (UMP), Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan pemberian bantuan sosial yang lebih tepat sasaran. Pemerintah juga perlu bekerja sama dengan pengusaha swasta untuk membuka lapangan pekerjaan bagi kelas menengah.
Keputusan Presiden Prabowo Subianto menetapkan kenaikan UMP/UMK 2025 sebesar 6,5% beberapa waktu yang lalu sangatlah tepat untuk mendongkrak daya beli masyarakat kelas menengah/buruh Indonesia. Tiga tahun terpuruknya kenaikan Upah buruh Indonesia memporak-porandakan perekonomian, apa yang diharapkan pemerintah sebelumnya dengan kenaikan upah buruh yang kecil akan mendorong banjir investasi di Indonesia tidak terbukti. Upah bukan permasalahan yang mendasar bagi para investor namun kebijakan dan birokrasi mahal yang menjadi permasalahan yang harus diperbaiki.
Namun sangat disayangkan pemerintah daerah terkesan lamban dalam merespon keputusan Presiden Prabowo Subianto dengan dalih regulasi, belum ada aturan sebagai payung hukumnya ditambah pendapat apindo yang tidak sepakat adanya UMSK semakin memperkeruh pemulihan daya beli buruh Indonesia.
Selain peningkatan upah buruh, juga perlu solusi yang lebih mendasar yaitu peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) melalui kurikulum pendidikan yang relevan dengan dunia kerja, pelatihan, seminar, dan workshop. Kualitas SDM yang baik akan membekali mereka dengan kemampuan berpikir kritis, sehingga tidak mudah dipermainkan.
Buruh sebagai masyarakat kelas menengah layak dinobatkan sebagai kelas masyarakat yang “Tangguh” di Indonesia, sebab dapat bertahan di berbagai musim kehidupan. Walaupun ketidakadilan menerpa, mereka tetap santuy dan berjuang mati-matian tanpa berharap banyak pada uluran tangan elite pemerintah.