Bang Yuddy….
Boleh kan saya memanggil dengan panggilan ‘Bang Yuddy’, Pak Menteri Yuddy Chrisnandi? Agar terkesan lebih akrab dan merakyat.
Jadi begini, Bang. Saya hendak menyampaikan kegembiraan saya ketika akhirnya anda memaafkan Mashudi, guru honor asal Brebes yang ditangkap Polda Metro Jaya karena mengirimkan SMS bernada mengancam itu. Saya tidak mengenal Mashudi. Tetapi dengan Abang melaporkannya ke Polisi, telah menyatukan emosi saya terhadap guru honor itu. Sosok yang telah mengabdi selama 16 tahun di dunia pendidikan, dengan gaji hanya 350 ribu.
Saya sendiri baru mendengar cerita itu secara gamblang ketika menghadiri Konferensi Pers yang diselenggarakan Gerakan Buruh Indonesia. Konferensi itu diselenggarakan di LBH Jakarta, 9 Maret 2016. Saat itu hari libur nasional. Kami tidak bisa menunda lebih lama. Terlebih saat itu Mashudi masih mendekam di dalam tahanan Polda Metro Jaya.
Wakil Ketua Forum Honorer K2 Indonesia, Andi Ardiansyah, hadir dalam konferensi itu. Dia lah yang menceritakan kronologis ini secara lengkap. Kata Andi, Mashudi mengirimkan SMS itu saat guru honorer melakukan aksi selama tiga hari berturut-turut di Istana Negara, sejak tanggal 10 hingga 12 Februari 2016. Perlu Bang Yuddy ketahui, Mashudi bukanlah calo PNS, seperti yang pernah Abang duga. Dia adalah Koordinator Honorer K2 Kabupaten Brebes. Saat aksi guru honorer itu berlangsung, Mashudi ikut hadir ke Jakarta, bersama dengan teman-temannya dari Brebes, Jawa Tengah.
Coba Bang Yuddy bayangkan. Dia, dengan gaji yang kecil itu, jauh-jauh datang ke Jakarta untuk menuntut janji yang pernah abang sampaikan pada hari Selasa (15/9/2015), seusai abang melakukan rapat kerja dengan Komisi II DPR RI, di gedung parlemen. Ketika itu, secara terbuka abang mengatakan akan pengangkatan tenaga honorer kategori 2 (K2) menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dimulai tahun 2016. Jelas terdengar oleh kami, akan mengangkat 440.000 tenaga honorer K2 sebagai PNS secara bertahap.
Abang itu Menteri. Kata-katamu yang dipegang oleh banyak orang.
Tetapi kenyataanya seperti dalam lirik lagu, “Kau yang berjanji, kau pula yang mengakhiri.”
Dalam aksi itu, kata Andi dalam Konferensi Pers ini, Mashudi mengirimkan SMS kepada. Ini bentuk kekesalan seorang guru honorer yang berharap besar ada kejelasan mengenai statusnya. Kekesalan Mashudi semakin menjadi, ketika mendengar kabar ada rekannya sesama honorer yang meninggal dalam aksi tersebut.
“Tidak tanggung-tanggung, jumlahnya mencapai 20 SMS,” kata Andi. Selanjutnya Andi menjelaskan, “Baru pada SMS yang ke-21, baru ada balasan. Sempat terjadi sahut-menyahut, hingga total SMS yang dikirimkan Mashudi berjumlah 28 kali. Ini termasuk 20 SMS sebelumnya yang tidak ada tanggapan sama sekali.”
Apakah itu benar, Bang Yuddy? Jika benar, logikanya sampeyan sudah tahu jika yang mengirimkan SMS itu adalah seorang guru honor. Apakagi ketika mendengar cerita saudara Mashudi, Muhammad Subhan, ke 28 pesan singkat melalui ponsel yang dikirimkan ke nomor telepon yang dianggap milik abang tidak semuanya menggunakan kata-kata yang tidak pantas atau kasar. Mashudi menanyakan soal komitmen Abang mengangkat honorer K2 Indonesia.
“Sms dengan perkataan yang kurang pantas atau kasar itu adalah akumulasi dari sms-sms sebelumnya. Ya mungkin, karena Mashudi kecewa terkait pembatalan kebijakan Menpan R B terkait nasib K2,” ujar Subhan, Kamis (10/3/2016). Kemudian Subhan menjelaskan, salah satu balasan yang diterima Mashudi, katanya abang pernah membalas dengan kata-kata yang intinya menganggap Mashudi adalah seorang calo PNS. Itulah yang membuat Mashudi semakin merasa sakit hati.
Abang, Mashudi dan kawan-kawannya di Forum Honorer K2 Indonesia itu berjuang untuk memajukan dunia pendidikan. Bagaimana mungkin pendidikan kita berkualitas, jika guru-gurunya hanya digaji 350 ribu? Bahkan banyak yang hanya mendapat 150 ribu. Itu sebulan, Bang Yuddy. Bukan sehari. Bisa jadi nilai itu masih lebih mahal harga makan siangmu hari ini.
Dalam hal ini, saya ingin mengutip pernyataan Ketua Program Studi Sosiologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Arie Sujito yang dimuat Kompas, Minggu (13/3/2016). Menurut Arie, hinaan dan ancaman itu harus diletakkan dalam konteks ekspresi kekecewaan honorer. Ditambah lagi, selaku pejabat publik, harus bisa lapang dada menerima reaksi publik yang ekstrem seperti dilakukan Mashudi. “Konsekuensi sebagai pejabat, ya, begitu, kecuali kalau ancaman itu nyata, baru diadukan ke polisi,” katanya.
Sebagai pejabat, Arie juga meminta jangan sampai mereka terjebak pada hal yang sifatnya personal dan membuat publik jadi tak simpati. “Simpati publik itu bagian terpenting agar pemerintah mendengarkan tuntutan sebuah perjuangan,” ucapnya.
Lebih lanjut, pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina, Mohammad Abduhzen, menambahkan, pejabat seperti menteri harus paham bahwa mereka merupakan tempat warga untuk berkeluh kesah. Dalam menyampaikan keluhan itu, tak semuanya bisa menyampaikan dengan pilihan kata yang sopan. Terlebih jika kekecewaan sudah bertahun-tahun tanpa ada solusi berarti dari pemerintah. “Pejabat harus bisa memahami kondisi psikologis warga yang dikecewakan oleh kebijakan,” ujar Abduhzen.
Bahkan, lebih elok jika sebelum melaporkan pengkritik, penghina, atau pengancamnya ke kepolisian, pejabat lebih mengedepankan langkah persuasif. Misalnya, mencoba melacak terlebih dulu pelaku. Ketika pelaku sudah diketahui dan memang isinya mengkritik serta menghina, pejabat bisa mengajaknya untuk bertemu dan berdialog.
Langkah pidana sepatutnya menjadi opsi paling akhir, yakni ketika ancaman memang nyata. Jika ancaman menjadi opsi utama, justru bisa menjadi bumerang bagi pejabat itu sendiri. Bisa saja muncul anggapan dari publik bahwa pejabat tersebut anti kritik. Pejabat bisa dinilai coba memidanakan pengkritiknya dengan harapan agar publik takut mengkritik kebijakannya.
Karena itu, saya berharap kasus Mashudi selesai sampai disini, Bang. Tidak ada lagi penangkapan-penangkapan berikutnya. Apalagi jika itu ujung pangkalnya dari apa yang pernah abang sampaikan: janji mengangkat mereka menjadi PNS.
Dan, saya masih sangat yakin. Selama janji belum ditunaikan, para honorer akan terus berjuang. Sama seperti kaum buruh, yang akan terus melawan sebelum PP 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan belum dibatalkan.
Karena itu, siap-siap saja menghadapi lebih banyak kritik lagi. (*)