Batas Akhir Penyerahan Kesimpulan Hasil JR UU Cipta Kerja Yang Harus Dilayangkan Partai Buruh, Akankah UU Cipta Kerja Dicabut?

Batas Akhir Penyerahan Kesimpulan Hasil JR UU Cipta Kerja Yang Harus Dilayangkan Partai Buruh, Akankah UU Cipta Kerja Dicabut?

Purwakarta, KPonline – Penolakan terhadap penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja melalui judicial review (JR) yang dilayangkan Partai Buruh terus berlanjut.

Dimana, pada Kamis, (25/7/2024) adalah batas akhir penyerahan kesimpulan hasil sidang Judicial Review UU Cipta Kerja Omnibus Law dari Pemohon (Partai Buruh dan Serikat Pekerja) dan Termohon (Pemerintah)

Bacaan Lainnya

Dalam beberapa hari ke depan akan diputuskan bahwa Omnibus Law dicabut atau tidak.

Lalu, kenapa kalangan buruh melalui Serikat Pekerja dan Partai Buruh begitu ngotot menolak UU Cipta Kerja?

Menurut mereka ada beberapa alasan. Diantaranya; Pertama, konsep upah minimun yang kembali pada upah murah.

Menurut Presiden Partai Buruh dan sekaligus Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal bahwa konsep itu mengancam kesejahteraan buruh.

Kedua, outsourcing atau tenaga alih daya tanpa batasan jenis pekerjaan. Hal ini membuat kepastian kerja bagi buruh menjadi hilang.

“Sama sama menempatkan negara sebagai agen outsourcing,” ucapnya.

Alasan ketiga, menurut Said Iqbal bahwa dalam UU Ciptaker ini memungkinkan kontrak kerja dilakukan berulang-ulang tanpa adanya jaminan pekerja tetap. Ia menyebut, hal itu dapat mengancam stabilitas kerja.

Keempat, pesangon yang murah atau hanya setengah pesangon dari aturan sebelumnya. Perubahan ini, menurut Iqbal, merugikan buruh yang kehilangan pekerjaan.

Alasan berikutnya, kata Said Iqbal yaitu proses pemutusan hubungan kerja atau PHK yang dipermudah. Menurut Iqbal, proses tersebut membuat buruh semakin tidak memiliki kepastian kerja dan selalu berada di posisi rentan.

Begitu pula dengan kebijakan cuti. Said Iqbal mengatakan, tidak adanya kepastian upah selama cuti membuat posisi buruh rentan dan mengalami diskriminasi di tempat kerja.