Purwakarta, KPonline – Namanya Raka. Dulu, dia adalah salah satu anggota paling aktif di organisasi serikat pekerja atau serikat buruh (SP/SB), sebut saja “kutu loncat”. Semangatnya membara, gagasannya seringkali tajam. Tapi waktu berjalan, dan arah pikirannya mulai menjauh dari nilai-nilai yang dijunjung ‘Kutu Loncat’. Visi yang dulu sejalan, kini terasa seperti dua jalan berbeda yang tak lagi bisa bertemu di persimpangan mana pun.
Rapat demi rapat pun dilaluinya dengan wajah masam. Ia mulai menolak keputusan kolektif, menyebar keresahan diantara anggota, dan menuduh pengurus tidak transparan. Bagi Raka, organisasi kutu loncat itu telah berubah, meskipun sebenarnya dialah yang telah bergeser.
Akhirnya, dengan berat hati, “Kutu loncat” memutuskan untuk melepaskannya. Keputusan itu diambil secara demokratis dan penuh pertimbangan.
Namun, pasca dikeluarkan oleh organisasi, Raka tak tinggal diam. Ia mulai menyebar cerita-cerita miring bahwa Serikat Pekerja Kutu Loncat saat ini penuh dengan kepentingan pribadi, dimana bahwa para pengurus hanya peduli pada kekuasaan. Sayangnya, sebagian orang percaya.
Tapi Kutu Loncat tetap tenang. Mereka tidak membalas serangan Raka dengan kemarahan, melainkan dengan bukti. Mereka terus berkarya, mengadakan kegiatan, mengabdi pada tujuan awal mereka. Lambat laun, publik bisa melihat sendiri bahwasanya siapa yang sibuk menebar kebencian, dan siapa yang sibuk membangun.
Raka tetap menjadi bayang-bayang. Tapi bayangan tidak pernah bisa menutupi cahaya yang terus menyala.