“Buruh tahu apa sih tentang tax amnesty? Bodohnya lagi, mereka mau digerakkan untuk kepentingan politik seseorang.” Ketika buruh mengajukan uji materi terkait tax amnesty ke Mahkamah Konstitusi, beberapa hari lalu, mereka dengan sinis mengatakan ini.
Bagi saya, pernyataan ini sebuah penghinaan. Apa dia pikir buruh itu hanya punya jasad, otot kawat balung besi. Sehingga ibarat robot, buruh itu hanya tahu kerja, kerja, dan kerja. Tanpa memiliki akal, pikiran, rasa, dan karsa.
Apa dia pikir buruh tidak sakit ketika disakiti dan tidak marah ketika diberi upah murah.
Apa dia pikir buruh nggak punya otak, hanya diam dan tidak berontak ketika mengetahui ketidakadilan ada didepan mata.
Apa dia pikir buruh hanya bergerak ketika ada remote. Ketika disuruh ke kanan baru dia ke kanan. Ketika disuruh ke kiri baru dia ke kiri. Sehingga setiap kali kaum buruh mengkritisi kebijakan selalu diberi label: sedang dipolitisasi.
Apa hubungan buruh dengan tax amnesty? Ya, oke. Saya tahu itu pertanyaannya. Kalau cuma mau tahu itu, nggak perlu pakai nuduh buruh sedang ditunggangi, kali? Bukannya tabayyun yang didulukan, ini malah tuduhan yang dikedepankan. Kan ngehek bener orang-orang seperti ini.
Saya justru ingin balik tanya. Apa kamu pikir buruh itu bukan rakyat Indonesia? Sehingga ketika ada regulasi yang merugikan, sebagai rakyat, buruh nggak boleh protes. Apakah kamu pikir buruh itu sebegitu bodoh sehingga nggak ngerti ada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak yang kita sebut tax emnesty ini? Jangan-jangan baru tahu ya kalau tax amnesty dimaksud mewujud dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2016? Hayo, ngaku…
Mustinya, yang nanya kayak gini nepok jidat dan minum kopi telebih dahulu biar nggak oleng. Kok ya buruh tahu ada istilah judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk sebuah Undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945?
Pengampunan Pajak, Mengangkangi Rasa Keadilan
Jadi apa sih yang dijudicial review buruh dari UU Pengampunan Pajak tersebut?
Ada beberapa pasal. Pertama, buruh pingin Pasal 1 ayat (1) dicabut dan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Bunyi pasal itu begini, “Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”
Sekali lagi, resapilah pengertian ‘Pengampunan Pajak’ yang menjadi intisari dari UU ini dengan hati. Dia, pengampunan pajak itu, didedikasikan untuk menghapuskan pajak yang seharusnya terhutang, tidak dikenai sanksi administrasi dan pidana di bidang perpajakan…..
Mengapa pajak yang seharusnya terhutang harus dihapus? Lalu dimana letak keadilan bagi mereka yang selama ini taat membayar pajak? Bagaimana dengan orang-orang yang pernah dijatuhi hukuman dibidang perpajakan, yang biasanya hukuman itu dikenakan untuk orang-orang yang jauh dari lingkaran kekuasaan dan lagi tidak mampu “membayar” hukum?
Bedebah, kan?
Kamu harus tahu. Buruh juga pembayar pajak (PPh 21) yang taat. Tidak ada pengampunan pajak. Bahkan sebelum gaji diterima, terlebih dahulu upah mereka dipotong untuk pajak. Dimana letak kesamaan didalam hukum yang tegas disebutkan dalam konstitusi?
Maling pajak kok diampuni. Kalau berani tangkap para pengemplang pajak itu. Beri sanksi administratif dan jatuhkan pidana. Jangan beraninya sama maling-maling kecil.
Pasal lain yang bertentangan dengan UUD 1945 adalah Pasal 3 ayat (1) yang menyebutkan, “Setiap Wajib Pajak berhak mendapatkan Pengampunan Pajak.”
Kemudian dalam ayat (3) disebutkan, “Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu Wajib Pajak yang sedang: (a) dilakukan penyidikan dan berkas penyidikannya telah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan; (b) dalam proses peradilan; atau c. menjalani hukuman pidana, atas Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.”
Setiap orang memiliki kedudukan yang sama didalam hukum bukan? Lalu mengapa harus ada perbedaan, bahkan untuk mereka yang baru dilakukan penyidikan dan proses peradilan – yang mustinya berlaku asas praduga tidak bersalah.
Kamu mau bilang, orang-orang yang pernah dijatuhi sanksi administratif dan pidana dibidang perpajakan itu emang nasibnya seperti itu? Kalau buruh menuntut perlakuan yang sama. Salah harus dibilang salah. Bukannya malah diampuni.
Ingat tidak yang digembar-gemborkan, tax amnesty untuk menarik dana yang ada diluar negeri. Tetapi nyatanya, apa yang disebut Wajib Pajak itu juga untuk mereka yang berada di dalam negeri. Dan yang namanya Wajib Pajak itu kebanyakan orang-orang yang berada, kira-kira para pengusaha dan penguasa. Tahu kan maksud saya, jika kebijakan ini sebenarnya diperuntukkan hanya bagi orang kaya. Mafia. Jangan-jangan, juga para cukong dalam pemilu yang memenangkan pihak tertentu.
Tebusan Kecil
Mau tahu, berapa harta tebusan agar pajak yang terhutang itu diampuni? Itu diatur dalam pasal 4. Biar kamu mudeng, baca ini saja.
Ayat (1) menyebutkan, tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau Harta yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan diinvestasikan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu paling singkat 3 (tiga) tahun terhitung sejak dialihkan, adalah sebesar: a. 2% (dua persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku; b. 3% (tiga persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan keempat terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2016; dan c. 5% (lima persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.
Ayat (2) mengatakan, tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebesar: a. 4% (empat persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku; b. 6% (enam persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan keempat terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2016; dan c. 10% (sepuluh persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.
Sedangkan ayat (3) menyebutkan, tarif Uang Tebusan bagi Wajib Pajak yang peredaran usahanya sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada Tahun Pajak Terakhir adalah sebesar: a. 0,5% (nol koma lima persen) bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam Surat Pernyataan; atau b. 2% (dua persen) bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam Surat Pernyataan, untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.
Bayangin yach. Ada orang yang bertahun-tahun tidak membayar pajak, kemudian dibuka kesempatan untuk membayar dengan nominal yang sangat kecil, berkisar 2 hingga 10 persen – tanpa denda. Lalu, setelah itu, habis perkara. Pertanyaanya, bagaimana kalau orang yang selama ini aktif membayar pajak juga minta untuk stop dulu bayar pajak. Iya dong, biar adil.
Ini namanya menghukum orang yang taat. Kira-kira, seperti menghukum orang yang hadir tepat waktu dalam rapat denan menunggu orang yang telat.
Nah, buruh nggak mau itu. Negara nggak boleh kalah dengan para maling pajak. Seharusnya, polisi yang selalu berbaris gagah dan rapi setiap kali mengawal demo buruh itu dikerahkan untuk memburu mereka yang selama ini tidak taat pajak. Kalau perlu dengan mengerahkan semua kekuatan tempur yang ada. (Hallah, lambemu Har…)
Rentan Korupsi
Masih ada pasal Pasal 21. Redaksinya begini, “(1) Menteri menyelenggarakan Manajemen Data dan Informasi dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang ini. (2) Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, dilarang membocorkan, menyebarluaskan, dan/atau memberitahukan data dan informasi yang diketahui atau diberitahukan oleh Wajib Pajak kepada pihak lain. (3) Data dan informasi yang disampaikan Wajib Pajak dalam rangka Pengampunan Pajak tidak dapat diminta oleh siapapun atau diberikan kepada pihak manapun berdasarkan peraturan perundang-undangan lain, kecuali atas persetujuan Wajib Pajak sendiri. (4) Data dan informasi yang disampaikan Wajib Pajak digunakan sebagai basis data perpajakan Direktorat Jenderal Pajak.”
Disebutkan dalam Pasal 23, “(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. (2) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.”
Masih ingat kan bunyi Pasal 21 ayat (2)? Baiklah, saya ulangi kembali. “Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, dilarang membocorkan, menyebarluaskan, dan/atau memberitahukan data dan informasi yang diketahui atau diberitahukan oleh Wajib Pajak kepada pihak lain.”
Nah, kalau informasi itu bocor, ancaman pidananya 5 tahun penjara. Ini tidak masuk akal. Janggal. Bagaimana mungkin orang yang menyampaikan siapa saja mereka yang selama ini mengemplang pajak justru dipenjara.
Ini rentan dengan penggelapan dan sama sekali mengangkangi asas keterbukaan informasi. Kalau informasi wajib pajak tidak boleh diketahui, bagaimana menjamin adanya transparansi? Bukankah untuk mengetahui berapa jumlah dana yang berhasil dihimpun, harus jelas siapa memberikan berapa? Siapa yang menjamin tidak ada korupsi, dalam sebuah sistem yang tertutup seperti ini?
Ini serius. Nanti mereka bilang, ada dana masuk dari pengampunan pajak sekian ratus milyar, tanpa tahu rinciannya dari mana saja. Bisa jadi, jumlah sesungguhnya lebih besar dari itu. Dan ini nggak bisa diungkap. Lha wong tidak boleh diketahui selain Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, misalnya untuk kepentingan audit.
Makin terlihat jelas proteksi mereka, ketika membaca Pasal 22, “Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Untuk alasan-alasan inilah buruh menolak tax amnesty.
Masih tidak terima dengan penjelasan ini? Ya ndak apa-apa. Lha wong judicial review juga sudah didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi. Mari kita tunggu saja putusannya. (*)