Bonus Demografi: Ketika Generasi Emas Dibuang ke Kubangan Lumpur

Bonus Demografi: Ketika Generasi Emas Dibuang ke Kubangan Lumpur

Masalah bonus demografi kembali jadi bahan perbincangan publik setelah Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka membahas isu tersebut dalam sebuah video yang diunggah di akun YouTube pribadinya. Dalam video itu, Gibran menjelaskan bahwa bonus demografi adalah kondisi di mana penduduk usia produktif mendominasi struktur usia populasi, dan bahwa Indonesia diperkirakan akan mencapai puncak bonus demografi pada periode 2030–2045.

Gibran menekankan pentingnya mengantisipasi dan memanfaatkan peluang ini untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Terdengar bijak dan optimistis. Tapi pertanyaannya: apakah realita di lapangan selaras dengan narasi itu? Mari kita lihat fakta yang justru menggugurkan euforia tersebut.

Selama bertahun-tahun, kata “bonus demografi” menjadi mantra yang terus-menerus dikumandangkan pemerintah, ekonom, dan para pemangku kepentingan. Dikatakan bahwa Indonesia sedang berada dalam masa keemasan: ketika mayoritas penduduk berada dalam usia produktif. Inilah saat di mana pertumbuhan ekonomi seharusnya melesat karena tenaga kerja melimpah dan beban usia tua rendah.

Di balik istilah manis “bonus”, ada realitas pahit yang tak bisa ditutupi. Tahun 2024, hampir 10 juta anak muda Indonesia berusia 15-24 tahun tidak bekerja, tidak sekolah, dan tidak ikut pelatihan. Mereka tergolong dalam kategori NEET (Not in Employment, Education or Training). Bahkan pada 2021, Indonesia sempat menjadi negara dengan angka NEET tertinggi di Asia Tenggara.

Apakah ini yang disebut bonus?

Yang terjadi justru sebaliknya: krisis keterampilan, pengangguran massal, dan kebijakan yang gagal membaca zaman. Kita memproduksi lulusan demi lulusan, tapi dunia kerja tak mampu menyerapnya. Kita mengeluarkan kebijakan pendidikan, tapi tak pernah benar-benar mendengarkan dunia industri. Kita bangga dengan startup dan unicorn, tapi tak sadar bahwa mayoritas anak muda sedang menggenggam CV, bukan modal usaha.

Lalu, datanglah insiden memilukan dari Batam  sebuah gambaran yang lebih jujur dari statistik mana pun.

Baru-baru ini, sebuah video viral memperlihatkan ribuan pencari kerja berbondong-bondong datang ke PT Let Solar Energy, Batam. Mereka berdesakan di Horizon Industrial Park, mayoritas perempuan muda usia 20-an. Di tengah terik matahari, mereka rela berbaris dan berebut demi menyerahkan surat lamaran. Beberapa terjatuh ke parit dan kubangan lumpur. Beberapa lemas. Beberapa panik. Tapi mereka tetap bertahan. Karena harapan mereka tinggal itu: mendapatkan kerja, pekerjaan apa saja.

Ini bukan adegan fiksi. Ini bukan reality show. Ini nyata, dan terjadi di depan mata kita. Sebuah bangsa yang katanya sedang menuai bonus, tapi realitanya tak mampu memberi ruang layak bagi anak mudanya untuk sekadar bekerja.

Lebih ironis lagi, angka PHK di tahun 2025 menunjukkan tren kenaikan. Para pekerja yang sebelumnya berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi, kini justru terdepak dari sistem. Industri-industri melakukan efisiensi, otomatisasi, atau memindahkan operasional ke tempat yang lebih “murah”. Hasilnya: anak muda terjepit di antara impian yang ditanamkan sejak sekolah, dan realitas keras yang tak memberi tempat.

Mereka dijanjikan masa depan, tapi dijebak dalam ketidakpastian. Mereka diglorifikasi sebagai generasi emas, tapi dibiarkan terpuruk dalam kubangan lumpur secara harfiah.

Pertanyaannya sederhana: bonus demografi ini bonus untuk siapa?

Karena yang kita lihat hari ini bukanlah generasi yang diberdayakan, melainkan generasi yang dibiarkan. Bonus demografi seharusnya bukan sekadar statistik, tapi soal bagaimana negara benar-benar hadir untuk menyiapkan lapangan kerja yang manusiawi, sistem pendidikan yang relevan, dan perlindungan sosial yang adil.

Tanpa itu semua, istilah “bonus demografi” hanyalah retorika kosong. Bahkan lebih tepat jika kita menyebutnya sebagai bonus derita  di mana anak muda dijadikan aset hanya ketika mereka produktif, tapi diabaikan saat mereka butuh uluran tangan.

Kita tak butuh lebih banyak slogan. Kita butuh kejujuran dan keberanian untuk mengakui bahwa sistem ini sedang gagal. Dan jika tak segera berubah, maka generasi yang kita sebut “emas” itu akan menjadi generasi yang paling kecewa dalam sejarah republik ini.