Booking
Ponsel bergetar
Panggilan dari nomor telepon yang tidak dikenal
Berapa?
Satu juta!
Lima ratus deh?
Tapi short time!
Ah, sama langganan ini. Long time ya?
Take it or leave it!
Oke deh!
Saya geleng-geleng kepala
Istri yang dinikahinya dengan biaya milyaran
Tak bisa seenaknya diminta
Sementara saya yang tak sampai sejuta
Diminta segalanya diforsir semuanya dikerjai semuanya
Laki-laki dan penisnya memang sulit dimengerti adanya
Perasaan
Dia begitu rupawan
Dia begitu menawan
Dia datang dengan kebutuhan
Dia pergi karena keharusan
Dia meninggalkan kesan
Dia selalu terkenangkan
Tapi…
Dia memilih bertahan
Dia hidup dalam kerangkengan
Dia tak rela melepaskan jabatan dan kekayaan
Dia dari perempuan itu mendapatkan penghidupan
Dia bersama perempuan itu diliputi kesengsaraan
Dia tak seperti apa yang diperlihatkan
Meski begitu…
Dia selalu terkuatkan
Dia tak punya kemandirian
Dia takut hidup sendirian
Dia tak mau mencicipi penderitaan
Dia rela dikendalikan
Dia kuasa jadi peliharaan
Dia tak kisah harga dirinya digadaikan
Dan…
Akan ada kelanjutan
Begitu selalu dia katakan
Akan ada lagi kedatangan
Ke kamar dengan beranda menghadap pekarangan
Saat ego terendahkan
Kala keadaan terkendalikan
Tunggulah dengan ketenangan
Harapan pertemuan kembali akan terwujudkan
Buta Pagi
Aku ingin bertemu pagi
Dengan menjadi orang yang lebih baik dari hari ke hari
Tapi lagi – lagi mendapati diri masih di lokalisasi
Bergumul dengan lelaki saban hari
Aku ingin bertemu pagi
Dengan tawa riang anak-anak dan suami menyambut hari
Tapi adakah pelacur akan dicintai lelaki berbudi
Sementara tiap janin tumbuh selalu diaborsi
Aku ingin bertemu pagi
Dengan masa tua yang penuh kasih dan cinta murni
Tapi layakkah diri mendapatkan hidup tenang nanti
Saat AIDS menggerogoti diri dan tak mau pergi
======
Puisi ini ditulis oleh Ana Westy dalam sebuah buku berjudul Senyum Bulan Desember bersama Chaerudin Saleh, dan Asyafa Jelata yang diterbitkan LeutikaPrio dan Forum Solidaritas Buruh Serang (FSBS).
Ana Westy, tetapi lebih senang dipanggil Achie, lahir dan besar di Kalimantan Barat 3 Maret 1985 lalu, menghabiskan masa kuliah dan kerja di Bandung selama tujuh tahun. Kembali lagi ke Kalimantan Barat karena sebuah tugas negara. Senang menyebut diri sebagai ”penyiar yang penulis” – ”penulis yang penyiar”. Senang menulis karena ingin sekali tulisan-tulisannya menginspirasi, sekaligus tetap aktif di dunia penyiaran. Produksi karya fiksi dan non fiksi telah diterbitkan di berbagai media seperti Tribun Jabar, Pikiran Rakyat, dan Penerbit Esensi.
Senyum Bulan Desember sendiri merupakan kumpulan puisi yang merefleksikan semua kepedihan itu. Bukan sekedar refleksi, malah. Namun juga hendak bersuara dengan tegas dan keras, bahwa jangan ada lagi kekerasan dan diskriminasi berbasis gender. Hal ini sekaligus hendak menegaskan tentang kemerdekaan kaum perempuan. Bahwa eksploitasi dan kekerasan seksual terhadap perempuan adalah sebuah pelanggaran hak asasi manusia yang serius karena akan meninggalkan dampak yang luar biasa. Trauma mendalam, yang bisa jadi akan berdampak abadi. Bukan hanya si perempuan itu sendiri, namun juga generasi yang akan dilahirkannya esok hari.