Jakarta, KPonline – Saya paham, akan banyak yang tidak setuju dengan pernyataan sebagaimana yang tertulis dalam judul di atas. Tetapi bukankah dalam banyak hal, kita harus berbicara dengan data. Sebab data adalah fakta yang mau tidak mau harus diterima kebenarannya.
Faktanya, berdasarkan data publikasi Sakernas periode Agustus 2018, pekerja berpendidikan maksimal SMP ke bawah jumlahnya adalah 58,77 persen atau 72,88 juta orang. Angka ini mendekati 60 persen dari total pekerja yang ada di Indonesia.
Itu artinya, sebagian besar pekerja Indonesia hanya tamat SMP ke bawah. Sejauh ini tidak ada permasalahan yang berarti. Pabrik-pabrik berjalan seperti biasa. Bahkan kelebihan tenaga kerja. Angkatan kerja yang masih nganggur terbilang besar.
Pengangguran terjadi bukan saja karena keahlian yang tidak berjodoh dengan pekerjaan yang dibutuhkan. Tetapi juga mengandung makna, bahwa sudah tidak ada lagi lapangan pekerjaan yang tersedia.
Keterampilan bisa diajarkan. Skill bisa dilatih. Tetapi semua itu tidak akan berguna, jika memang lapangan pekerjaan sudah tidak bersedia.
Pabrik yang cukup mempekerjakan 100 orang untuk memenuhi target produksi, tidak akan mungkin merekrut tenaga kerja lebih besar dari itu. Bahkan kalau perlu, demi alasan efisiensi, jumlahnya akan dikurangi. Seorang pekerja “dipaksa” mengerjakan beberapa pekerjaan.
Jika demikian, maka pernyataan di atas menemukan relevansinya. Buat apa sekolah tinggi, kalau sekedar lulus SD pun sebenarnya bisa bekerja.
Saya tidak mengatakan bahwa pendidikan tidak penting. Bukan itu maksud saya. Saya hanya ingin mengatakan, untuk apa sekolah tinggi-tinggi, kalau setelah lulus masih harus melakukan pemagangan? Lantas selama ini apa saja yang dipelajari di bangku sekolah? Bukankah tahun-tahun berlalu dengan sia-sia.
Itulah yang terjadi. Sebagian besar apa yang kita pelajari, justru tidak akan kita gunakan. Mati-matian menghapal rumus fisika dan matematika, tidak akan banyak membantu untuk menjahit cepat ketika kalian bekerja di pabrik tekstil, misalnya.
Di dalam pabrik, tugas-tugas yang dihadapi sama sekali berbeda dengan tugas-tugas sekolah yang pernah dikerjakan.
Bahkan ketika kesulitan mendapatkan pekerjaan di sektor formal, kemudian si pencari kerja mencari peruntungan dengan menjadi ojek online, tidak perlu mengeja kata ‘number one’ dengan benar untuk bisa melakukan pekerjaan itu.
Buat apa sekolah tinggi, kalau 60 persen pekerja ternyata hanya lulusan SMP ke bawah? Faktanya, mereka mampu bekerja puluhan tahun. Keahliannya, tentu saja berkali lipat dibandingkan dengan mereka yang lulusan sarjana.
Bahkan yang lulus SMP sekalipun, ketika dilatih melakukan pekerjaan tertentu, dia akan menjadi ahli di bidangnya.
Jika memang demikian, pernyataan bahwa pekerja Indonesia memiliki skill yang rendah sesungguhnya hanya mitos. Hanya untuk membenarkan, karena sebagian besar buruh tidak tamat SMP, maka dia tidak berhak mendapatkan upah yang layak.
Padahal soal kerja, mereka yang disebut-sebut berpendidikan rendah itu tak kalah jika diadu.