Buruh batam Minta Walikota Dukung Perjuangan Buruh Cabut UU Cipta Kerja

Buruh batam Minta Walikota Dukung Perjuangan Buruh Cabut UU Cipta Kerja

Batam,KPonline – Setelah melakukan aksi hari ini (8/7/2024), Ketua Pimpinan Cabang Elektronik Elektrik FSPMI Kota Batam, Masrial mengatakan bahwa aksi hari ini (8/7/2024) adalah bagian dari aksi nasional yang dilakukan oleh FSPMI, dengan tuntutan utama untuk mencabut UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Aksi ini juga bertepatan dengan sidang Judicial Review Omnibus Law di Mahkamah Agung, yang merupakan sidang kesaksian terakhir sebelum sidang putusan.

Di Kota Batam, aksi kali ini dilaksanakan dengan tujuan menuju Kantor Walikota Batam. “Kami juga menyerahkan petisi yang berisi tuntutan-tuntutan aksi hari ini”Ucapnya . Adapun isi dari petisi tersebut adalah sebagai berikut:

Meminta Walikota Batam mendukung perjuangan kaum buruh dengan mencabut UU Omnibus Law Cipta Kerja.
Meminta Walikota Batam untuk menindak praktik kerja outsourcing.
Menaikkan UMK 2025 sebesar 15%.
Meminta pemerintah untuk mencegah kenaikan harga sembako, serta rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL) dan bahan bakar minyak (BBM).

Sementara sidang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Senin, terkait dengan uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU terhadap UUD NRI Tahun 1945.

Adapun perkara bernomor 168/PUU-XXI/2023 itu diajukan oleh Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), serta Mamun dan Ade Triwanto yang berprofesi sebagai buruh.

Dalam permohonannya, mereka mengajukan 71 petitum yang pada intinya meminta MK membatalkan pasal-pasal terkait dengan sektor ketenagakerjaan dalam revisi UU Cipta Kerja. Selain itu, pihaknya meminta agar MK mengembalikan norma yang sudah dicabut.

Pada mulanya, Amalinda menjelaskan bahwa tren demografi di Indonesia adalah terus meningkatnya populasi tenaga muda yang akan memasuki lapangan pekerjaan.

Menurut dia, apabila penentuan UU Cipta Kerja tidak sensitif pada kesejahteraan kelompok tersebut, akan menghasilkan kelas pekerja yang berisiko sangat rentan terkait dengan hak mereka sebagai pekerja.

Amalinda menyebutkan tiga hal yang membuat buruh dalam posisi rentan, yaitu pengurangan kesejahteraan buruh, mekanisme penentuan upah, dan formula penentuan upah.

Dalam UU Cipta kerja, kata ahli, terdapat hal-hal yang mengurangi kesejahteraan buruh, yaitu penentuan upah minimum, penghapusan aturan pesangon, aturan outsourcing tanpa batas, dan pemotongan uang pesangon.

Ia juga menyoroti penentuan upah dalam UU Cipta Kerja yang tidak lagi melibatkan dewan pengupahan atau forum tripartit dan meminimalkan peran serikat pekerja.

“Padahal, peran serikat pekerja adalah sangat sentral dalam upaya mendorong kesejahteraan kelompok pekerja melalui peran-peran aktifnya secara kolektif. Forum yang sangat demokratis ini justru tidak lagi ada dalam penentuan upah,” ujarnya

Terakhir, dalam aspek formula penentuan upah, dia mengkritisi penentuan yang menggunakan tiga variabel, yaitu pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan “indeks tertentu”.

Ahli menilai variabel “indeks tertentu” berisiko membuat buruh rentan karena tidak disebutkan siapa yang menentukan.

Dalam sidang tersebut, dia lantas merekomendasikan agar frasa tersebut dihapus atau ditegaskan penentuannya untuk memastikan hak pekerja dalam konteks pemberian upah.

Selain tiga hal tersebut, Amalinda juga menyoroti kebijakan ketenagakerjaan yang tidak berpihak pada warga negara sendiri dan keberpihakan pada tenaga kerja asing.

“Dua konteks tersebut, yakni ekonomi dan demografi, sangat penting untuk dipertimbangkan oleh majelis hakim Konstitusi terkait dengan revisi UU ini,” ujarnya.