Buruh DKI: No Work No Pay, Framing Perbudakan

Buruh DKI: No Work No Pay, Framing Perbudakan

Jakarta, KPonline – Isu ketidakpastian ekonomi global membuat pengusaha mendesak Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menerbitkan aturan berisi fleksibilitas jam kerja dengan prinsip no work no pay (tidak bekerja, tidak dibayar).

Diduga permintaan aturan tersebut hanya akal-akalan untuk melegitimasi kelakuan pengusaha yang kerap merumahkan pekerja atau mengurangi kesejahteraan kaum buruh. Dengan begitu, pengusaha bisa melanggengkan upaya upah murah.

Bacaan Lainnya

No Work No Pay adalah framing perbudakan, demikian disampaikan oleh Agus Rantai salah satu orator dalam aksi buruh DKI Jakarta di depan kantor gubernur DKI.

Selanjutnya, Agus juga menyinggung isu utama dalam aksi ini. Meminta Plt, Gubernur Heru Budi Hartono memiliki keberanian untuk segera melakukan revisi Keputusan Gubernur no. 1153 tahun 2022. Tetapkan UMP DKI sesuai dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta itu 10,55 persen.b

Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta 2023 yang telah diumumkan pada Senin (28/11/2022) kemarin. DKI Jakarta mengalami kenaikan UMP sebesar 5,6% menjadi Rp 4.900.798 atau naik Rp 326.953 dibandingkan tahun 2022 dirasa tidak memenuhi rasa keadilan bagi kaum buruh. Ia tegas menolak kenaikan UMP tersebut.

Sementara, dalam konferensi pers bersama KSPI, Samsuri dari Partai Buruh menyampaikan kenaikan UMP 2023 tersebut sangat kecil.

“UMP DKI Jakarta ini lebih kecil dibanding daerah-daerah lain, itu sangat tidak masuk akal.” ucapnya.

Seharusnya kenaikan UMP dilihat dari inflasi dan pertumbuhan ekonomi provinsi masing-masing, ujarnya.

“Setelah kita hitung, inflasi dan pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta itu 10,55%. Jadi DKI itu kita harapkan (UMP) naik 10,55%. Tapi UMP DKI Jakarta hanya naik 5,6%, jauh itu,” lanjutnya.

Senada dengan apa yang disampaikan Perda KSPI, Samsuri menyatakan bahwa dengan UMP sebesar Rp 4.900.000 itu masih belum cukup. Di contohkan, dengan gaji sebesar Rp 4.900.000 digunakan untuk biaya kontrak rumah sekitar Rp 900 ribu, lalu untuk makan 30 hari sekitar Rp 1,8 juta ditambah untuk transportasi sekitar Rp 625 ribu. Jika ditotal semua sudah mencapai Rp 3.325.000 juta atau dibulatkan menjadi Rp 3,4 juta.

“Itu baru 3 komponen lho. Kita dapat Rp 4.900.000 dikurang Rp 3,4 juta sisa Rp 1,5 juta. Belum beli baju, kalau sudah punya anak, belum jajan anak, belum beli pulsa, belum tagihan listrik. Buruh DKI kerja tidak bisa nabung,” tambahnya.

“Plt Gubernur Berempatilah, buruh DKI adalah aset, segera lakukan revisi UMP 2023.” tegasnya.

(Jim).