Jakarta, KPonline – Perjuangan buruh Freeport masih berlanjut. Saat ini mereka sedang berada di Jakarta, untuk mengadukan nasibnya ke beberapa lembaga. Beberapa diantaranya adalah PP Muhammadiyah, Pengurus Besar Nahdlatu Ulama (PBNU), hingga Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI).
Mereka mengaku naik kapal laut untuk sampai ke Jakarta. Perjalanan dari Papua ditempuh kurang lebih 10 hari.
Kepada Muhammadiyah, mereka meminta bantuan PP Muhammadiyah untuk menyampaikan aspirasi mereka ke pemerintah Indoensia. Perwakilan buruh Freeport ini disambut oleh Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM Busyro Muqoddas.
“Saya di Freeport sudah 22 tahun, suka duka Freeport sudah tahu. Kalau PHK tidak lewat telepon dan WhatsApp kan. Jadi kita ingin negara hadir,” kata Koordinator Lapangan Aksi Demo Julius, seperti dikutip detik.com.
“PHKnya sudah bulan Mei 2017 sudah setahun lebih. Tapi kita udah coba ke beberapa pihak seperti Kementerian Tenaga Kerja dan lain lain tidak ada respons makanya kita ke Jakarta dan akhirnya diterima dengan baik di DPP Muhamadiyah setidaknya mereka menjadi jembatan kami ke pemerintah agar bisa menyampaikan aspirasi,” kata Julius.
Menemui Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
Selain Muhammadiyah, mereka juga menemui Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Di PBNU, para buruh menyampaikan agar PBNU dapat bersuara ke pemerintah terkait keluhannya mengingat, menurut dia, pemerintah tidak pernah hadir dalam permasalahan tersebut. Ada indikasi, pemerintah hanya menerima berita secara sepihak dari perusahaan saja.
“Kami mohon dengan amat ke PBNU yang kami anggap selaku satu lembaga yang terkenal, boleh menguping dan meneruskan keluhan kami,” ujarnya.
Sementara itu, dilansir dari islam-institute.com, Ketua PBNU H Robikin Emhas menyampaikan bahwa dalam persoalan ini, pemerintah ndak boleh abai. “Pemerintah ndak punya alasan untuk ndak datang,” tegasnya.
Mendatangi Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia
Selian kepada dua ormas Islam terbesar itu, para buruh Freeport ini juga mendatangi Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) di Graha Oikoumene, Jakarta Pusat.
Dilansir dari sinarkeadilan.com, eks karyawan PT Freeport Indonesia itu didampingi oleh Nurkholis Hidayat selaku Kuasa Hukum dari Lokataru, kantor hukum dan hak asasi manusia Indonesia. Nurkholis mengakui, mereka mewakili 8300 eks karyawan PT Freeport yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak sejak Mei 2017.
“Banyak di antara mereka yang kini mengalami kesulitan ekonomi lantaran hak keuangan mereka tidak dipenuhi, rekening diblokir dan BPJS dihentikan,” tutur Nurkholis.
Dia melanjutkan, kondisi itu berdampak pada masalah pelayanan medis bagi yang sakit, anak-anak putus sekolah, hubungan rumah tangga menjadi rusak, bahkan terjadi penangkapan, teror dan korban jiwa pada eks karyawan PT Freeport tersebut. “Hanya karena mereka terus memperjuangkan hak-haknya,” ujarnya.
Perwakilan yang mewakili sekitar 200 orang eks karyawan PT Freeport , Julius Mairuhu mengatakan, sebagai umat gereja, mereka berharap ada perhatian dari pimpinan gereja.
“Mengapa ini kami lakukan karena selama berjuang untuk ketidakdilan di Tanah Papua, khususnya melawan Freeport. Tidak ada sentuhan kasih dari pimpinan gereja di Papua. Maka akhirnya kami sepakat untuk menyampaikan keluhan ini, yang adalah keluhan umat, kepada pimpinan PGI,” ujar Julius Mairuhu.
Marthen Motte, yang juga mewakili eks karyawan PT Freeport, menyampaikan harapannya agar PGI ambil bagian memperjuangkan persoalan ini. Berbagai upaya sudah dilakukan, termasuk menyurati semua pihak, namun tidak ada kemajuan.
“Kami sudah beberapa kali ke Istana Presiden, menyurati Deputi Kepresidenan, Menteri Tenaga Kerja, bahkan Menteri ESDM sudah ke sana tetapi tidak ada kabar atau tidak ada kejelasan terkait apa yang kami alami,” ujar Marthen.
Selaku kuasa hukum, Nurkholis Hidayat menjelaskan, pihaknya telah melakukan pendekatan melalui jalur konstitusi, tetapi tetap mengalami kesulitan.
Lebih jauh dia menjelaskan, upaya PHK sepihak sebenarnya sudah diketahui oleh seluruh karyawan, dan karena itu mereka menginginkan adanya perundingan. Namun, permintaan tersebut tidak dipenuhi oleh pihak PT Freeport sehingg akhirnya karyawan melakukan aksi mogok.
Nurkholis menjelaskan, pada 1 Mei 2017 mereka melakukan mogok resmi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tetapi sejak saat itu PT Freeport tidak mengakui hak mogok yang dilindungi oleh undang-undang tersebut.
“Dan secara sepihak terus digaung-gaungkan bahwa pemogokan itu tidak sah, dan kemudian mereka yang 8300 orang itu dianggap mengundurkan diri atau mangkir. Saya sangat menyayangkan karena pemerintah menerima begitu saja klaim dari PT Freeport yang menyatakan bahwa pemogokan ini tidak sah. Secara hukum mereka adalah pegawai PT Freeport yang seharusnya seluruh hak-haknya diberikan dan tidak diabaikan begitu saja,” papar Nurkholis.