Medan, KPonline – Serikat buruh adalah salah satu lembaga sosial yang mampu mendorong peningkatan kesetaraan dan keadilan sosial, utamanya melalui peran yang mereka mainkan dalam mengorganisir kekuatan kolektif serta strategi yang mereka terapkan sebagai kekuatan pengimbang dari kapitalis.
Bersatunya kaum Buruh hal yang paling ditakuti oleh para kapitalis, karena kapitalis sangat mengetahui bahwa Buruh merupakan unsur yang paling menentukan terhadap pertumbuhan dan perkembangan usaha, demikian halnya dengan pemerintah (penguasa) juga sangat mengetahui bahwa kelompok Buruh merupakan salah satu faktor penentu terhadap pertumbuhan perekonomian disatu negara, hal ini dengan melihat peran ganda yang dimiliki kaum Buruh, disamping sebagai penghasil produksi Buruh juga secara langsung sebagai konsumen dari produksi tersebut, sehingga bila Buruh bersatu padu menghimpun kekuatan dengan melakukan aksi industrial mogok kerja, maka dampaknya bukan saja kepada terganggunya proses produksi akan tetapi lebih jauh bisa melumpuhkan perekonomian disatu Negara.
Demi mencegah bersatunya kaum Buruh kelompok kapitalis dan penguasa tetap berupaya untuk melakukan pencegahan, dengan cara melakukan intimidasi, dan mengkriminilisasi para Buruh yang akan mendirikan organisasi Serikat Buruh / Serikat Pekerja, demikian juga terhadap aksi unjuk rasa termasuk peringatan May Day, para kapitalis dan pengusaha tetap melakukan intervensi, melakukan pencegahan agar para Buruh membatalkan aksinya, padahal untuk membentuk serikat dan melakukan aksi termasuk mogok kerja adalah haknya kaum Buruh yang dijamin dan dilindungi oleh Undang- Undang
Adalah sebuah fakta yang tidak bisa dibantah oleh siapapun, belasan tahun era reformasi berjalan, kaum Buruh masih kesulitan menggunakan haknya untuk berserikat, ancaman kriminalisasi terhadap pengurus dan anggota serikat Buruh secara masif masih terjadi, dan yang lebih Ironis Aparat Penegak Hukum (APH) seperti pengawas ketenagakerjaan dan kepolisian seolah tak berkutik.
Sayangnya hampir rata- rata kaum Buruh tidak menyadari bahwa kaum Buruh memiliki kekuatan yang maha kuat dan cenderung lebih memilih untuk pasrah dengan keadaannya, ditindas, dihisap serta diperas, dan dijadikan sebagai mesin produksi guna menghasilkan keuntungan bagi kelompok kapitalis.
“Seorang Buruh yang sudah bekerja keras sepanjang hari, tetapi hasil yang didapatkan tidak mampu untuk mencukupi biaya kebutuhan hidupnya beserta keluarganya untuk satu bulan adalah sebuah kondisi nyata yang hampir terjadi di berbagai perusahaan, sehingga untuk menutupi kekurangan biaya kebutuhan hidup tersebut sering ditemui Buruh tersebut melibatkan istri atau anaknya sebagai pekerja”
Kondisi yang berbeda dapat dilihat pada kehidupan nyata kelompok kapitalis dan penguasa, mereka bisa hidup serba mewah berkecukupan tanpa perlu bekerja keras, dapat dengan leluasa menikmati uang keuntungan dari sejumlah produksi yang dihasilkan oleh kaum Buruh.
“Bagaimana bisa terjadi, segolongan kecil manusia bisa menguasai hasil pekerjaan dari orang banyak ?”
Untuk menjawab pertanyaan ini maka Buruh harus mengenal sifat dari kapitalis.
Bahwa kapitalis memiliki prinsip, masyarakat adalah pasar atas sejumlah produksi, sedangkan keberadaan Buruh sebagai tenaga kerja bukan merupakan aset tetapi masuk pada unsur modal.
Agar sejumlah prodak laku dipasar dapat dijual dengan harga murah dan keuntungan tetap bisa maksimal dicapai, maka salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menekan Harga Pokok Produksi (HPP) serendah mungkin.
Untuk menekan agar HPP bisa serendah mungkin adalah dengan cara mengurangi jumlah tenagakerja, (melakukan PHK kepada sebagian Buruh ) menambah target beban kerja serta jam kerja.
Pengurangan sebagian tenaga kerja ini, dampak langsungnya adalah kepada penurunan HPP, sebab unsur terbesar HPP adalah biaya gaji, tunjangan dan biaya sosial tenaga kerja.
Kelicikan dan kesadisan para kelompok kapitalis ini tidak hanya pada pengurangan tenagakerja saja, sistim hubungan kerja pada pekerjaan yang berhubungan langsung kepada proses produksi, yang semula berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) dirubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Buruh Harian Lepas ( BHL) atau Pekerja Harian Lepas (PHL), tujuan pengubahan ini selain untuk memperkecil HPP, adalah untuk memudahkan mendapatkan tenaga kerja yang baru yang lebih produktif.
Untuk melegalkan kebijakan para kapitalis, maka intervensi kepada penguasa secara masif berjalan utamanya didalam membentuk dan menerbitkan sebuah regulasi.
Undang- Undang No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja adalah sebuah bukti adanya dugaan intervensi dari para kapitalis kepada penguasa, meski Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa Undang- Undang tersebut inkonstitusional, namun tetap disahkan.
Tidak cukup sampai disitu, guna melemahkan APH dibidang ketenagakerjaan, maka diduga kuat sejumlah upeti bulanan berkedok dana koordinasi diberkan kepada semua APH.
Upaya melumpuhkan hukum dibidang ketenagakerjaan juga diduga dilakukan oleh penguasa, hal ini dapat dilihat pada jumlah APH disatu Unit Pelayanan Teknis (UPT) Pengawas Ketenagakerjaan Provinsi, hanya ada maksimal 10 orang, untuk membawahi lima Daerah Kabupaten/ Kota, dimana dilima Daerah Kabupaten /Kota ini terdapat ratusan bahkan ribuan perusahaan, yang secara otomatis tiga fungsi pemerintah dibidang ketenagakerjaan, yang terdiri dari, Pembinaan, Pengawasan dan Penindakan kepada pengusaha yang melakukan pelanggaran dan kejahatan ketenagakerjaan tidak berjalan optimal, bukti tidak optimalnya fungsi pemerintah ini dapat dilihat melalui data, belasan tahun reformasi pengusaha yang diduga melakukan pelanggaran dan / atau kejahatan ketenagakerjaan hampir tidak ada ditindak, kalaupun ada hanya hitungan jari.
Dengan minimnya jumlah APH dibidang ketenagakerjaan ini, (Pengawas Ketenagakerjaan) maka tidak mengherankan banyak perusahaan yang bisa berbuat sewenang- wenang dan banyak kasus- kasus ketenagakerjaan tidak terproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dengan kata lain kasus dimasukkan dalam peti mayat.
Bagaimana fungsi regulasi dibidang ketenagakerjaan?
Dengan melihat fakta lemahnya hukum ketenagakerjaan, maka dapat disimpulkan bahwa keberadaan Undang- Undang tentang Ketenagakerjaan tidak lebih hanya sebagai pelengkap persyaratan sebuah pemerintahan, setidaknya dunia internasional tidak bisa menjudge negara ini sebuah negara bar-bar.
Ditulis oleh : Siswanto Bangun
Sekretaris PC SPPK FSPMI Labuhanbatu