Pemilihan Umum, Azas dan Perjalannya.
Sebagai wujud dari Negara Demokrasi dan Pelaksanaan PancasIla khususnya Sila ke 4 maka Indonesia sudah melakukan pesta Demokrasi sejak tahun 1955 dimana merupakan Pemilihan Umum Pertama Pasca Kemerdekaan yang diikuti 172 Partai Politik Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Setelah amandemen keempat UUD1945 tahun 2002, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (PilPres),yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga Pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Di tengah masyarakat, istilah “pemilu” lebih sering merujuk kepada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali .Pemilihan umum di Indonesia menganut asas “Luber” yang merupakan singkatan dari “Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia”. Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan.
Umum berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara. Bebas berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun, kemudian Rahasia berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri.Berkembang pula asas “Jurdil” yang merupakan singkatan dari “Jujur dan Adil”. Asas jujur mengandung arti bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.
Perjalanan Pemilu Indonesia
Pemilu pertama dilangsungkan pada tahun 1955 bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante.Dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo,beliau mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.
Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia, Masyumi, Nahdlatul Ulama, Partai Komunis Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.
Pemilu berikutnya diselenggarakan pada tahun 1971, tepatnya pada tanggal 5 Juli 1971. Diikuti oleh 9 Partai politik dan 1 organisasi masyarakat.Lima besar dalam Pemilu ini adalah Golongan Karya, Nahdlatul Ulama, Parmusi, Partai Nasional Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.Pada tahun 1975, melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, diadakanlah fusi (penggabungan) partai-partai politik, menjadi hanya dua partai politik yaitu : Partai Persatuan Pembangunan ( P3 ) dan Partai Demokrasi Indonesia ( PDI ) dan satu Golongan Karya.
Pemilu-Pemilu berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. diselenggarakan dibawah pemerintahan. Presiden Soeharto. Pemilu-Pemilu ini seringkali disebut dengan “Pemilu Orde Baru”. Sesuai peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975, Pemilu-Pemilu tersebut hanya diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu tersebut kesemuanya dimenangkan oleh Golongan Karya.
Pemilu 1999.Pemilu pertama setelah runtuhnya orde baru, yaitu Pemilu 1999 dilangsungkan pada tahun 1999 (tepatnya pada tanggal 7 Juni 1999) di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik.Lima besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional.Walaupun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meraih suara terbanyak (dengan perolehan suara sekitar 35 persen), yang diangkat menjadi presiden bukanlah calon dari partai itu, yaituMegawati Soekarnoputri, melainkan dari Partai Kebangkitan Bangsa, yaitu Abdurrahman Wahid (Pada saat itu, Megawati hanya menjadi calon presiden). Hal ini dimungkinkan untuk terjadi karena Pemilu 1999 hanya bertujuan untuk memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD, sementara pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan oleh anggota MPR.
Pada Pemilu 2004, memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, yat juga dapat memilih anggota DPD, suatu lembaga perwakilan baru yang ditujukan untuk mewakili kepentingan daerah.Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama di mana para peserta dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden pilihan mereka. Pemenang Pilpres 2004 adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Pilpres ini dilangsungkan dalam dua putaran, karena tidak ada pasangan calon yang berhasil mendapatkan suara lebih dari 50%. Putaran kedua digunakan untuk memilih presiden yang diwarnai persaingan antara Yudhoyono dan Megawati yang akhirnya dimenangi oleh pasangan Yudhoyono-Jusuf Kalla.Pergantian kekuasaan berlangsung mulus dan merupakan sejarah bagi Indonesia yang belum pernah mengalami pergantian kekuasaan tanpa huru-hara. Satu-satunya cacat pada pergantian kekuasaan ini adalah tidak hadirnya Megawati pada upacara pelantikan Yudhoyono sebagai presiden.
Pemilu 2009.Pilpres 2009 diselenggarakan pada 8 Juli 2009. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung dengan memperoleh suara 60,80%, mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto.
Golongan Putih.
Memang agak asing mendengar istilah ini, karena memang akan terasa lebih familiar ketika kita menyebutnya dengan kata Golput, imajinasi kita langsung tertuju pada aktivitas politik. Adalah sebutan yang disematkan pada mereka yang tidak memilih padahal memiliki hak pilih guna menentukan pilihan pemimpin atau wakilnya di legislatif. Awalnya adalah gerakan protes dari para mahasiswa dan pemuda untuk memprotes pelaksanaan Pemilu 1971 yang merupakan Pemilu pertama di era Orde Baru dengan peserta 10 partai politik.
Tokoh yang memimpin gerakan ini adalah Arief Budiman, dianggap pembangkang dan sulit mendapatkan pekerjaan walau doktor lulusan Harvard dan dosen di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga serta Universitas Melbourne.Pencetus istilah “Golput” ini sendiri adalah Imam Waluyo,pada dasarnya adalah sebuah gerakan moral yang dicetuskan pada 3 Juni 1971 di Balai Budaya Jakarta, Arief Budiman sebagai salah seorang eksponen Golput berpendapat bahwa gerakan tersebut bukan untuk mencapai kemenangan politik, tetapi untuk melahirkan tradisi dimana ada jaminan perbedaan pendapat dengan penguasa dalam situasi apa pun.
Pada kasus fakta di lapangan, banyak alasan mengapa masyarakat kita Golput pada putaran pemilihan kepala daerah tingkat kabupaten/kota/provinsi, anggota legislatif, juga presiden. Beberapa alasan terebut diantaranya seperti pekerjaan yang tidak bisa ditinggal, anggota keluarga yang tengah sakit, sedang bepergian keluar kota, dan bermacam alasan lainnya.Ada kelompok-kelompok dakwah yang pemahaman pergerakannya adalah mengharamkan demokrasi sebagai alat untuk mencapai tujuan, yakni kegemilangan Islam.
Mereka berpendapat bahwa demokrasi adalah mutlak haram tanpa ada toleransi untuk menggunakan atau memanfaatkannya. Maka, setiap hari, pekerjaan yang mereka lakukan adalah dengan menyebarkan propaganda dan opini.Sejak Pemilu 1955 angka Golput cenderung terus naik. Bila dihitung dari pemilih tidak datang dan suara tidak sah,golput pada pemilu 1955 sebesar 12,34%. Pada pemilu 1971, ketika Golput dicetuskan dan dikampanyekan, justru mengalami penurunan hanya 6,67%. Pemilu 1977 Golput sebesar 8,40%, 9,61% (1982), 8,39% (1987), 9,05% (1992), 10,07% (1997), 10.40% (1999), 23,34% (Pileg 2004), 23,47% (Pilpres 2004 putaran I), 24,95% (Pilpres 2004 putaran II). Pada Pilpres putaran II setara dengan 37.985.424 pemilih.
Pemilu legislatif 2009 partisipasi pemilih sebesar 71%. Artinya jumlah golput (dalam arti longgar) terdapat 29%. Sedangkan menurut perkiraan berbagai sumber jumlah golput pada pemilu Presiden 2009 sebesar 40%. Angka-angka golput ini cukup tinggi.Klausul yang dijadikan dalil pembenaran logika golput dalam Pemilu di Indonesia yaitu UU No 39/1999 tentang HAM Pasal 43. Selanjutnya, UU No 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Sipil Politik yaitu di Pasal 25 dan dalam UU No 10/2008 tentang Pemilu disebutkan di Pasal 19 ayat 1 yang berbunyi: “WNI yang pada hari pemungutan suara telah berumur 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kimpoi mempunyai hak memilih.
Dalam klausul tersebut kata yang tercantum adalah “hak” bukan “kewajiban”.Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang diamandemen pada 1999-2002, tercantum dalam Pasal 28 E: “Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Hak memilih di sini termaktub dalam kata “bebas”. Artinya bebas digunakan atau tidak.
Menjelang pemilu mulai banyak yang menyebarkan ide untuk menjadi golput atau secara terbuka menyatakan diri akan golput. Golput atau golongan putih dikenal sebagai sebutan untuk warga negara yang sengaja menolak memilih dalam pemilu, sekalipun mempunyai hak pilih.
Memilih untuk Masa Depan Yang Lebih Baik
Selalu berusaha untuk memilih dalam pemilihan umum yang merupakan bentuk partisipasi minimal bagi warga negara dalam perubahan negeri. Golongan malas adalah orang yang memilih untuk tidak memilih dalam pemilu sebenarnya malas. Bukan malas datang ke tempat pemilihan umum (TPU), tapi malas untuk meluangkan waktu mencari tahu siapa di antara semua kandidat yang ada yang bisa benar-benar atau lebih baik dalam memperjuangkan aspirasi rakyat.
Mereka mengambil langkah mudah menyamaratakan semua kandidat tak layak.Masih ada calon wakil rakyat dan pemimpin yang baik, yang masuk ke politik untuk berjuang bukan memperkaya diri dan ego.Untuk mengetahui mana yang baik mana yang busuk, kita harus mencari tahu, pelajari, bukannya malas mencari tahu dan memilih abstain.Prasangka atau sikap menghakimi yang dikombinasikan dengan malas tentu saja merupakan komposisi yang buruk dan tidak bertanggung jawab atas masa depan Bangsa Indonesia.
Jumlah pemilih pemula pada Pemilu 2014 mendatang, cukup mencengangkan. Menurut data KPU, dari jumlah sekira 188 juta orang dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), diperkirakan terdapat sekira 22 juta orang yang akan mengikuti pemilu pertama kalinya. Sedangkan jumlah pemilih pada kelompok usia 17-23 tahun sekira 30 juta orang. Dan mayoritas pemilih pemula dan pemilih muda adalah pelajar (SMA), mahasiswa dan pekerja/buruh muda yang baru masuk kerja, sehingga totalnya sekira 52 juta orang.
Pada Pemilu 2004 lalu, ada sekira 50 juta orang pemilih pemula tidak terkecuali didalamnya para buruh yang sangat produktif dan baru mengunakan hak pilihnya pertama kali dari jumlah 147 juta orang pemilih. Jumlah itu mencapai 34 persen dari keseluruhan pemilih dalam pemilu. Setidaknya, ada tiga pola utama untuk membujuk pemilik pemula ini ke bilik suara.
Pertama, adalah sosialisasi besar-besaran dengan medium baru yakni media sosial. Mark Poster (1990) dalam bukunya “The Second Media Age” menyebutkan, adanya periode baru di mana teknologi interaktif dan komunikasi jaringan, khususnya dunia maya akan mengubah masyarakat.
Contoh paling dekat dari pendekatan komunikasi adalah pada Pilkada DKI 2012 yang mengaplikasikan tim sukses Jokowi-Ahok dengan menggunakan sosial media (youtube) lewat parodi musik yang diubahnya menggunakan ikon bahasa anak muda. Sosial media memang bukan arus utama membentuk opini,jika mampu memancing kontroversi dan menjadi trending topic di social media, akan mempengaruhi media mainstream untuk memberitakannya pada akhirnya, juga mempengaruhi masyarakat secara luas.Tidak heran, hampir semua parpol saat ini merekrut anak-anak muda yang getol berselancar di media sosial untuk ikut mendesain isu dan topik untuk dilempar ke media sosial.
Kedua, parpol berupaya mempengaruhi teman dengan social media. Pengaruh teman menjadi faktor yang patut dipertimbangkan, karena faktor eksternal bisa mempengaruhi informasi dan pendidikan politik. Teman dipercaya bisa mempengaruhi persepsi dan tindakan mereka untuk merespons isu politik. Ketiga, peran pers untuk mencerdaskan sekaligus menggarap pemilih pemula yang besar ini juga harus sistematis, Media massa yang mampu menangkap isu-isu anak-anak muda, merekam kebutuhan mereka, dan mengaplikasikan generasi digital ini, akan survive dan dipercaya oleh mereka.
Upaya media massa utama menyalurkan informasi yang menggugah, terutama platform televisi dan platform internet, harus mampu menyajikan informasi politik kepada khalayaknya secara efektif dan efisien, tidak lagi bergantung kepada cara-cara tradisional dengan media arus utama seperti koran, radio, televisi, dan majalah.
Sangat perlu menekankan pentingnya kelompok usia 17-23 tahun untuk menentukan pilihannya pada Pemilu 2014 karena pada tahun 2045, atau 100 tahun Indonesia Merdeka, mereka masih dalam usia sangat produktif antara 48-54 tahun. Artinya mereka memiliki kesempatan untuk memberikan kontribusi besar bagi Indonesia. Demokrasi ini harus dikawal oleh pers, sesuai kapasitasnya, bahwa inilah langkah yang tepat untuk pers terlibat langsung dalam proses Pemilu 2014, karena anak muda adalah penentu masa depan bangsa Indonesia.
Sekalipun golongan yang tidak memilih banyak jumlahnya, pemilu tetap berjalan dan hasilnya tetap sah. Jadi kalau kandidat abal- abal tadi yang terpilih, masyarakat yang tidak memilih jelas ikut bertanggung jawab. Mumpung masih ada waktu, mari luangkan untuk mencari kandidat terbaik yang ada. Pemilihan umum adalah pilihan, pilih dengan hati dan wawasan.Kaum Buruh ynag terpelajar dan berilmu harus mampu untuk berpikir. Langkah mana yang bisa membawa kepada banyaknya kemanfaatan dan langkah mana yang malah akan membawa kita kepada kehancuran dan kehinadinaan atas kuasa orang-orang dzolim di atas kaum Buruh Indonesia .Kader kader terbaik dari Buruh sudah mencalonkan diri “Pilihlah Kader BURUH” untuk menjadi Wakil kita di DPR/DPRD dan DPD.
Karena masih ada harapan, masih ada asa yang tinggi untuk memakmurkan negeri ini. Ambil langkah, partisipasi, pilihlah orang yang amanah lagi berilmu untuk memimpin kita agar Kaum Buruh bisa Sejahtera dan Bangsa Indonesia bisa kuat . wallahu a’lam.
Roni Febrianto
Pemimpin Redaksi Koran Perdjoeangan