Purwakarta, KPonline – Lebaran merupakan momen istimewa bagi umat Muslim untuk berkumpul bersama keluarga. Namun, bagi banyak buruh perantauan, hari raya sering kali diwarnai oleh perasaan rindu yang mendalam karena tidak dapat pulang kampung.
Setiap tahunnya, ribuan buruh yang bekerja di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung menghadapi dilema antara kembali ke kampung halaman atau tetap bertahan di perantauan. Faktor ekonomi dan keterbatasan cuti menjadi kendala utama yang membuat banyak dari mereka harus merayakan Lebaran jauh dari keluarga.
Begitu pun dengan Uchi yang bekerja sebagai buruh pabrik textile di daerah kabupaten Purwakarta. Karena keterbatasan dana (uang) dan waktu, ia memilih untuk tidak mudik lebaran Idul Fitri tahun ini. “Saya sebenarnya ingin pulang, tapi ongkos mudik sangat mahal. Selain itu, cuti dari pabrik juga terbatas, jadi saya memilih tetap di Purwakarta,” ujarnya.
Meski jauh dari keluarga, para buruh perantauan tetap berusaha merayakan Lebaran dengan cara mereka sendiri. Sebagian memilih berkumpul dengan sesama perantau, melaksanakan salat IdulFitri di masjid terdekat, hingga mengadakan acara makan bersama untuk mengobati rasa rindu akan kampung halaman.
Di beberapa tempat, dan salah satunya di kabupaten Purwakarta, komunitas buruh dan organisasi sosial juga mengadakan kegiatan berbagi seperti pembagian makanan, santunan, hingga acara silaturahmi agar suasana Lebaran tetap terasa hangat bagi mereka yang tidak bisa pulang.
Pemerintah dan sejumlah perusahaan juga berupaya memberikan dukungan bagi buruh perantauan, seperti kebijakan mudik gratis atau tunjangan hari raya (THR) yang diharapkan dapat membantu meringankan beban mereka.
Meskipun jauh dari keluarga, semangat Lebaran tetap hidup dalam hati para buruh perantauan. Dengan keteguhan dan semangat kerja keras, mereka terus berjuang demi masa depan yang lebih baik bagi diri mereka dan keluarga tercinta.