Pada edisi kali ini, editorial KP coba mengupas sejauh mana potensi buruh dalam pemilu legislatif 2014 berkaca pada pengalaman pemilu legislatif edisi-edisi sebelumnya. Diakui atau tidak, dari segi jumlah buruh berpotensi punya kekuatan suara politik yang signifikan, walaupun dari pengalaman-pengalaman sebelumnya potensi ini belum tergarap sepenuhnya. Mengapa? Karena saat itu slogan buruh pilih buruh hanya sebatas gagasan, belum masuk tahap implementasi. Sebagai alibi bisa dikatakan kesadaran berpolitik buruh saat itu masih sangat terbatas dan minoritas, ditambah lagi friksi gerakan buruh sangat terlihat akibat terfragmentasi (terpecah belah) oleh berbagai sebab. Begitupun dilihat dari pengalaman berpolitik, jelas gerakan buruh dimasa lalu belum punya pengalaman politik yang memadai.
Dalam konteks kekinian, belajar dari pengalaman diatas gerakan buruh saat ini terlihat jauh lebih solid, lebih berpengalaman dan militan. Sebagai bukti kita bisa melihat bagaimana gerakan buruh (khususnya FSPMI/KSPI) berhasil memperjuangkan kenaikan upah minimum hingga 50%, berhasil menggolkan pengesahan RUU BPJS menjadi UU BPJS yang mengamanatkan jaminan kesehatan untuk seluruh rakyat Indonesia, memaksa pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri terkait pembatasan sistem kerja outsourcing dan lainnya. Ini membuktikan gerakan buruh dewasa ini sudah bisa melepaskan diri dari stigma “gerakan buruh adalah gerakan pabrik”.
Kemajuan-kemajuan yang dicapai sekaligus membuktikan gerakan buruh dewasa ini sudah bertransformasi menjadi gerakan sosial yang solid. Bahkan bisa dikatakan gerakan buruh dewasa ini menjadi gerakan sosial yang sangat diperhitungkan oleh penguasa, hampir menyaingi pengaruh organisasi sosial lainnya yang sudah berusia puluhan bahkan ratusan tahun, semisal NU dan Muhammadiyah.
Pengalaman politik dari NU dan Muhammadiyah tentu bisa dijadikan pelajaran berharga bagi elit-elit buruh untuk meyakinkan anggotanya. Secara organisasi NU dan Muhammadiyah bisa disebut organisasi sosial terbesar non pemerintah. Namun jika kita melihat dari sisi politik, kebesaran itu tidak menjamin para caleg dari kalangan NU dan Muhammadiyah bisa memenangkan suara anggotanya.
Editorial KP tidak berpanjang lebar mengupas fenomena ini tapi setidaknya para elit buruh bisa belajar dari kondisi ini, kebesaran organisasi tidak menjamin keberhasilan para calegnya. Ini menjadi PR besar bagi para elit buruh untuk meyakinkan anggota bahwa “buruh go politik” adalah pilihan terbaik. Bertarung dalam pemilu legislatif tentu berbeda dengan berunjuk rasa menuntut sesuatu. Bertarung dalam pemilu legislatif adalah pertarungan dalam memenangkan hati anggota.
Editorial KP berharap, demi sebuah perubahan kaum buruh harus menyadari gerakan buruh tidak boleh berhenti sebatas kekuatan esktra parlementer, gerakan buruh harus menjadi kekuatan inti parlemen. Untuk itu buruh harus memilih buruh, terus bergerak untuk mewujudkan perubahan dan diam adalah pengkhianatan. Wassalam. *Red KORAN PERJUANGAN KORAN BURUH*