Purwakarta, KPonline – Semakin layak penghasilan yang didapat oleh buruh atau pekerja, semakin besar pula penghasilan atau devisa yang akan didapat oleh negara. Kenapa?
Karena, tingkat upah yang baik akan membawa daya beli masyarakat (purchasing power) naik, sehingga konsumsi naik dan industri akan berkembang.
Dimana untuk selanjutnya, pemerintah akan mendapatkan income (pemasukan) atau devisa hasil dari tumbuh kembangnya ekonomi melalui sektor pajak ataupun hal lain.
Tentu, sudah selayaknya sebagai pemerintah memberikan suatu perhatian yang lebih dalam bentuk apa pun bagi mereka (kelas pekerja atau kaum buruh) untuk mengarah kepada hal tersebut.
Namun, realitanya di era Jokowi bertolak belakang dari arti pentingnya peranan mereka, kenyataan di lapangan menunjukkan, hingga saat ini, nasib para pekerja Indonesia masih saja memprihatinkan.
Dan itu berawal dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Kemudian, berlanjut dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dibentuk lewat proyek Omnibuslaw.
Dari kacamata kelas pekerja atau kaum buruh, hadirnya regulasi-regulasi tersebut dinilai merugikan. Dimana, nilai-nilai kesejahteraan dibeberapa pasalnya tidak sebaik atau bahkan lebih baik dari undang-undang sebelumnya, yaitu; Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Sebelum regulasi Undang-undang Nomor 11 tersebut hadir, Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan terlebih dahulu mempersulit kelas pekerja atau kaum buruh untuk mendapatkan upah layak.
Sebagai contoh di Kabupaten Purwakarta Jawa Barat, untuk tahun 2012 upahnya sebesar Rp1.047.500. Kemudian untuk 2013 sebesar Rp1.693.167 dan untuk 2014 Rp2.100.000.
Dan setelah PP 78 itu ada, persentase kenaikannya tidak sebaik seperti tahun tahun sebelumnya. Untuk 2016, upah di Purwakarta sebesar Rp2.927.990. Selanjutnya, 2017 sebesar Rp3.169.549. Dan di 2018 sebesar Rp3.445.617.
Sehingga bisa dikatakan, sebelum adanya regulasi PP 78/2015; upah buruh atau pekerja naik dikisaran 12,69% per tahun.
Namun setelah PP tersebut hadir dimasa pemerintahan Jokowi, kenaikan upah, rata-rata hanya naik 8,66% setiap tahunnya. Terlebih, Omnibuslaw Cipta Kerja hadir dan ditambah dengan kebijakan naiknya harga BBM pada 4 September 2022 menggambarkan buruh atau pekerja susah mendapatkan upah layak di Era Jokowi.
Dilansir dari Tribunnews.com, Presiden Partai Buruh Said Iqbal pernah mengatakan bahwa 3 tahun berturut-turut, buruh dikendalikan oleh negara atas permintaan pengusaha melalui UU OmnibusLaw UU Cipta Kerja. Udah nggak naik upahnya. Saya ini ILO Governing Body. Keajaiban nomor 11 di dunia setelah Candi Borobudur adalah upah enggak naik, BBM naik. Ini aneh.
Pemerintah diharapkan lebih serius menjamin perlindungan dan rasa aman terkait mekanisme pengupahan kepada pekerja. Karena upah layak merupakan urat nadi pekerja yang menjadi salah satu kunci majunya roda perekonomian bangsa dan sejatinya bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pekerjanya.