Jakarta, KPonline – KSPI dan buruh Indonesia kembali melakukan judicial review Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (PP 78/2015) ke Mahkamah Agung. Pasalnya, keberadaan PP 78/2015 menyebabkan hilangnya hak berunding buruh dalam penetapan upah minimum yang sebagaimana diatur dalam Pasal 88 UU Ketenagakerjaan no 13 tahun 2003.
Berlakunya PP 78 juga mengakibatkan pembatasan kenaikan upah buruh hanya sebesar 15-20 dollar atau seharga kebab di satu negara. Demikian disampaikan Presiden KSPI Said Iqbal di Jakarta, Jum’at (3/3/2017).
Sebelumnya KSPI sudah mengajukan judicial review terhadap PP 78/2015, tetapi ditolak oleh Mahkamah Agung. Alasannya, karena masih ada salah satu pasal dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang juga di judicial review di Mahkamah Konstitusi.
“Saat ini perkara di Mahkamah Konstitusi sudah putus. Tidak ada lagi uji materi terkait UU 13/2003 di MK. Sehingga tidak ada alasan bagi Mahkamah Agung untuk tidak memproses uji materi terkait PP 78/3015,” kata Said Iqbal.
Lebih lanjut Said Iqbal menjelaskan, dalam gugatannya, buruh meminta agar Pasal 44 ayat (2) dan Pasal 49 ayat (1) PP 78/2015 dicabut.
Menurutnya, Pasal 44 ayat (2) mengakibatkan hilangnya hak berunding serikat buruh. Hak berunding adalah hak yang sangat fundamental bagi serikat buruh. Hal ini ditegaskan dalam Pasal Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000, Konvensi ILO Nomor 87, Konvensi ILO Nomor 98, dan Konvensi ILO Nomor 131.
“Faktanya buruh dirugikan akibat PP78/2015 yang menghilangkan hak berunding. Seperti kasus di Pasuruan. Dewan Pengupahan sudah sepakat kenaikan upah di atas PP 78/2015, tetapi kesepakatan itu menjadi tidak berarti karena Gubernur memutuskan berdasarkan ketentuan Pasal 44 ayat 2,” tegas Iqbal.
Oleh karena itu, dengan mencabut pasal 44 ayat (2), maka buruh akan kembali memiliki hak berunding dalam penetapan upah minimum provinsi dan kab/kota. Dengan kata lain, kenaikan upah minimum tidak lagi menggunakan rumus inflansi plus pertumbuhan ekonomi, yang notabene nilai itu ditetapkan sepihak oleh pemerintah.
Sedangkan Pasal 49 adalah berkaitan dengan penetapan upah minimum sektoral yang harus dirundingkan dengan asosiasi pengusaha sektor industri terkait. Buruh keberatan dengan ketentuan ini, karena berdasarkan Pasal 89 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, UMSP dan/atau UMSK dibahas di Dewan Pengupahan. Bukan dirundingkan dengan asosiasi pengusaha sektor industri terkait.
“Ketentuan dalam pasal ini ngawur dan akal-akalan agar upah buruh tetap murah. Faktanya tidak ada asosiasi pengusaha sektor industry di Provinsi maupun di Kabupaten/Kota,” tegas Said Iqbal.
Akibat keberadaan pasal ini, banyak daerah yang UMSP dan UMSK menjadi hilang. Sebagai contoh, hilangnya upah sektor garmen di DKI Jakarta dan UMSK di Batam.
“Karena itu buruh Indonesia menuntut agar UMSP dan UMSK ditetapkan sesuai Pasal 89 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yaitu UMSP dan UMSK ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan dan atau Bupati/Walikota (tidak pernah menyebut asosiasi pengusaha sektor industri),” lanjut Iqbal.
Buruh akan mendaftarkan gugatan ini dalam waktu dekat, disertai aksi ribuan massa buruh dari berbagai serikat pekerja di Mahkamah Agung.