Bogor, KPonline – Terkait penetapan upah, baik itu upah minimun provinsi (UMP) maupun upah minimum kabupaten/ kota (UMK), Pemerintah dan buruh selalu bersitegang.
Tak pernah ada persepsi yang sama antara pemerintah, buruh dan pengusaha dalam setiap pengambilan keputusan soal pengupahan.
Terlebih, lahirnya regulasi Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 yang mengatur tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, gejolak perseteruan akan pengupahan antara pemerintah, buruh dan pengusaha serasa enggan berkesudahan.
Di tahun 2024, berdasarkan PP 51/2023, kenaikan upah minimum provinsi saja hanya berada dikisaran satu hingga tujuh persen. Dimana nilai kenaikan terendah berada di provinsi Gorontalo yang hanya naik sebesar 1,19% ( Dari Rp2.989.350 menjadi Rp3.025.100) dan provinsi Maluku Utara mencapai nilai kenaikan tertinggi yaitu sebesar 7,5% (Dari Rp2.976.720 menjadi Rp3.200.000).
Sehingga pada akhirnya, kelas pekerja atau kaum buruh harus kembali gigit jari karena kenaikan upah tak seperti yang diharapkan untuk memenuhi hidup layak.
Dibalik carut-marut hal tersebut, regulasi itu pun menjadi salah satu topik bahasan di agenda workshop pengupahan yang diselenggarakan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja Automotif Mesin dan Komponen Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (PP SPAMK-FSPMI) di Gedung Pusdiklat FSPMI, Cisarua-Bogor, Jawa Barat. Senin, (19/8/2024).
Dalam workshop, menurut analisa Mujito selaku pengurus Pimpinan Pusat Bidang Pengupahan FSPMI, PP 51/2023 tidak bisa menjawab permasalahan upah yang disampaikan oleh pemerintah sendiri.
“PP 51/2023 membuat 6 provinsi di Indonesia di tahun 2024, tidak ada penyesuaian upah. Dan hampir kurang lebih 210 daerah tidak mendapatkan penyesuaian inflasi. Sehingga, tidak dapat menjaga daya beli buruh,” kata Mujito.
Kemudian ia juga mengungkapkan, disparitas upah minimum provinsi dan upah minimum kabupaten/ kota tahun 2024 malah meningkat daripada tahun 2023.
Maka dari itu, sambung Mujito; dengan diadakannya workshop ini diharapkan, pertama: mampu mendorong perubahan kebijakan (PP 51/2023).
Kedua: mempersiapkan bahan argumentasi bagi PUK yang hadir untuk berunding upah di internalnya masing-masing dengan acuan berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Selanjutnya, terkait upah diatas upah minimum 1 tahun itu adalah pengganti dari upah minimum sektor kabupaten/ kota (UMSK). Dan UMSK itu sendiri dikembalikan berdasarkan kesepakatan perundingan Bipartit.
“Maka, bagi PUK yang masuk dalam kriteria perusahaan/industri utama, sekunder atau penunjang dan masuk dalam perusahaan skala besar, berdasarkan UU 20/2008 berhak menuntut adanya upah diatas upah minimum,” sambung Mujito.
Ia pun menegaskan, bagi pekerja dibawah satu tahun dan pekerja diatas satu tahun, dalam hal pengupahan wajib berpedoman pada struktur skala upah.
“Dalam perundingan upah; mendapatkan penyesuaian upah, masa kerja dan penilaian kinerja adalah sebagai standarisasi dari struktur skala upah,” jelas Mujito.
Menurutnya, struktur skala upah merupakan upah pokok yang harus didapat oleh pekerja. Karena, telah tertuang dalam pasal 3 di Permenaker No. 1 tahun 2017.
“Jangan berkecil hati, meskipun saat ini kebijakan pengupahan tidak berpihak kepada kita (buruh/pekerja), tetapi dengan semangat dan spirit kebersamaan, insaalloh akan terjadi perubahan,” tutupnya.