Catatan Jamkeswatch Tahun 2022

Catatan Jamkeswatch Tahun 2022

Bagian 1 BPJS Kesehatan
Oleh : Ipang Sugiasmoro
Direktur Hukum dan Anggaran Jamkeswatch

Sepanjang tahun 2022 lalu, dari hasil pemantauan Jamkeswatch mencatat beberapa hal menarik dalam pelaksanaan Program JKN yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan dan beberapa hal yang terkait BPJS Kesehatan. Apresiasi pantas diberikan pada badan penyelenggara, atas hasil capaiannya. Namun begitu ada juga beberapa hal yang patut dikritisi, dievaluasi dan diperhatikan.

Kami Jamkeswatch berharap catatan ini bisa menjadi batu uji dan bahan kajian untuk perbaikan dalam tata kelola maupun penyelenggaraan JKN di tahun depan. Selain itu juga dapat menjadi pengetahuan dan pertimbangan umum, agar Jaminan Sosial sejalan dengan filosofi, asas dan tujuannya.

A. Surplus Aset DJS

Selama 3 (tiga) tahun berturut-turut, BPJS Kesehatan “berhasil” mencatatkan surplus aset Dana Jaminan Sosial (DJS). Setiap tahunnya surplus DJS semakin meningkat, pada tahun 2020 surplusnya sebesar Rp.18,74 triliun, tahun 2021 naik Rp. 38,76 triliun dan di tahun 2022 menjadi Rp. 52 triliun.

“Surplus BPJS Kesehatan hingga Rp. 52 triliun dari kasnya yang mungkin sekitar Rp. 100 triliun. Harusnya itu surplusnya tidak lebih dari 10%,” kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (28/11/2022).

Menurut Budi, adanya surplus itu tidak sesuai dengan tujuan Jaminan Sosial sehingga sebaiknya digunakan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat. Kemenkes akan memanfaatkan surplus dengan melakukan penyesuaian komponen yaitu, Perluasan cakupan pelayanan menjadi promotif-preventif, Perubahan struktur penetapan harga di rumah sakit dan perluasan coverage untuk penyakit-penyakit yang terjadi di Indonesia.

Terlepas dari opsi pemanfaatkan surplus dana DJS oleh Kemenkes. Kami memandang bahwa kondisi surplus itu justru mengkuatirkan di kemudian hari. Diperlukan pemahaman, pertimbangan dan langkah bersama agar tidak memicu hal-hal yang tidak diinginkan. Inilah beberapa masukannya.

Pertama, Sebagaimana prinsipnya, Dana Jaminan Sosial adalah dana amanah, dana peserta harus dibedakan dengan dana pemerintah. Dana DJS wajib dipergunakan seluas-luasnya bagi kepentingan peserta. Karena BPJS Kesehatan tidak mengenal perhitungan untung rugi atau nirlaba, maka surplus dana DJS seyogyanya dikembalikan ke peserta.

Adapun usulan skemanya adalah :
1. Pengembalian biaya bagi peserta yang sedang membutuhkan pelayanan kesehatan di fasilitas yang tidak bekerjasama (Sesuai UU SJSN yang Peraturan Pemerintah nya tidak kunjung diterbitkan).
2. Reward bagi peserta atas minimun pemanfaatan layanan (bisa cek kesehatan gratis, point yang dapat ditukarkan produk kesehatan dll).
3. Apresiasi keaktifan pembayaran/kepesertaan dalam kurun waktu tertentu (koin logam mulia, medical cek up komplit, Diskon transportasi di BUMN dll).
4. Donasi premi iuran/denda bagi mereka yang benar-benar membutuhkan (warga miskin, eks PPU bermasalah, anak yatim piatu, warga terlantar, dll).

Skema itu sangat terbuka kemungkinan dijalankan meskipun tidak dalam kondisi surplus untuk memacu kepesertaan, kepatuhan dan kepercayaan publik.

Kedua, Kondisi surplus muncul akibat situasi pandemi Covid 19 dan kondisi tentatif di masyarakat, yang menjadikan turunnya kunjungan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Disaat situasi kembali normal, tentunya akan terjadi lonjakan. Disamping itu perlu diantisipasi gangguan kesehatan pasca terpapar Covid dan perubahan status pandemi menjadi endemi, yang dapat menaikan beban anggaran.

Ketiga, Terkumpulnya dana besar memungkinkan pula semakin rawannya potensi kecurangan (fraud), kesewenang-wenangan bahkan tindakan korup. Dibutuhkan perhitungan yang cermat dan transparansi publik dalam tata kelola. Perlu dipertanyakan, apakah Kemenkes hanya menawarkan ketiga opsi pemanfaatan, ataukah ada saran masukan dari partisipasi publik. Peserta JKN adalah subjek bukan menjadi obyek.

Keempat, Dalam pengelolaan DJS, patut dikaji pembentukan lembaga Baitul Mal. Hal ini selain mendorong pengembangan program, meningkatkan kepercayaan publik juga mencegah kebocoran dana/pemanfaatan yang tidak relevan. Baitul Mal adalah model alternatif sistem keuangan non pemerintah dan non perbankan. Konsep Baitul Mal menitikberatkan pada kesetaraan, keadilan dan kemaslahatan umat sehingga terdapat pemisahan jelas antara dana negara dan dana pemerintah.

B. Optimalisasi Program JKN

Pada awal tahun 2022, Presiden mengeluarkan Instruksi tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Melalui Instruksi Presiden No. 1 tahun 2022 yang telah terbit kedua kalinya ini, tersemat harapan dan upaya besar untuk perbaikan dan peningkatan tata kelola penyelenggaraan JKN.

Inpres ini adalah sebuah bentuk keniscayaan atas melesetnya roadmap serta belum tercapainya tujuan program JKN, sekaligus melanjutkan Inpres sebelumnya, yaitu Inpres No. 8 tahun 2017 yang mana dinilai belum memenuhi target.

Pada kedua Inpres memiliki perbedaan yang signifikan. Dalam Inpres 1/2022, tujuannya adalah peningkatan akses pelayanan kesehatan dan keberlangsungan program JKN. Untuk itu Presiden bahkan menginstruksikan kepada 30 Kementrian/Lembaga serta Pemerintah Daerah, lebih banyak dari Inpres sebelumnya yang hanya 11 instansi.

Inpres ini juga memberikan mandat khusus pada Menteri Kordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), untuk rutin melaporkan pelaksanaan Inpres ini secara berkala. Selain mengistruksikan pendanaan optimalisasi JKN dibebankan pada APBN/APBD, Inpres ini juga tidak menyebutkan batas masa berlakunya.

Polemik sempat muncul karena kehadiran Inpres ini. Dikaitkannya kepesertaan JKN dengan pelayanan publik terutama syarat jamaah haji, ijin jual beli dan pengurusan sertifikat tanah, pembuatan SIM, STNK serta paspor. Memantik reaksi keras masyarakat sebab dianggap tidak relevan dan menghambat hak private.

Lalu bagaimanakah effort Inpres ini? Apakah tujuannya sudah tercapai? Publik wajar mempertanyakan karena belum ada perkembangan pelaksanaan Inpres, jangan-jangan kurang berhasil seperti Inpres yang lalu. Padahal dalam RPJMN 2019-2024, Pemerintah menargetkan kepesertaan semesta JKN sebanyak 98%.

Hasil pemantauan lapangan Jamkeswatch, per 31 Oktober 2022 dari 38 provinsi, baru 15 provinsi yang sudah UHC, dari 514 Kabupaten/Kota, baru 289 Kab/Kota yang UHC. Sedangkan dari sisi kepesertaan, dari total penduduk 271 juta jiwa sudah tercover sebanyak 247 juta jiwa atau 91,1%. Masih menyisakan 24 juta atau 8,9% penduduk yang belum masuk program JKN.

Fakta lain yang ditemukan adalah ternyata tidak semua Pemerintah Daerah mengalokasikan anggaran untuk program JKN. Salah satu contohnya adalah provinsi Jawa Timur yang mulai tahun 2022, tidak menganggarkan pembiayaan bagi warga kurang mampu.

Akibatnya sebanyak 622.986 warga miskin dan kurang mampu, yang sebelumnya dibiayai oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur menjadi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), terputus serentak dari jaminan kesehatan per 1 Januari 2022. Jerit kesakitan dan kematian peserta pun tak terhindarkan.

Pemprov Jatim berdalih kecukupan anggaran tidak memadai, pajak cukai rokok tidak mampu mencover semua peserta, akhirnya kepesertaan warga miskin/kurang mampu dikorbankan dan dikembalikan ke masing-masing daerah. Tak ayal kebijakan mendadak dan krusial ini membuat Pemda di Jatim kelabakan karena anggaran telah selesai digedok.

C. Komersialisasi dan Liberalisasi Kesehatan

Pada awal tahun 2022, publik dikejutkan dengan rencana Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan yang akan merubah penerapan kelas pelayanan di fasilitas kesehatan yang selama ini terbagi dalam kelas 1, 2, dan 3, menjadi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) atau kelas tunggal.

Pemerintah berdalih KRIS JKN merupakan amanah dari UU SJSN Dalam Pasal 19 ayat (1) dan pasal 23 ayat (4). Pemerintah melalui Perpres 64/2020 pasal 54A dan 54B, menetapkan Peninjauan manfaat Kebutuhan Dasar Kesehatan (KDK) dan rawat inap paling lambat Desember 2022 serta pelaksanaannya KRIS paling lambat tahun 2022.

Pada Juli 2022, sebanyak 5 RS vertikal dibawah Kemenkes dilakukan uji coba KRIS dengan 12 kriteria yang akan menjadi dasar penyelenggaraan KRIS. Kriteria tersebut dititikberatkan pada kondisi sarana dan prasarana non medis yakni ruang rawat inap, seperti kondisi ventilasi, suhu ruangan, kepadatan ruang rawat inap, dan lain sebagainya.

Direktur Utama BPJS Kesehatan prof. Ali Ghufron Mukti, saat rapat dengar pendapat (RDP) bersama DPR dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), mengatakan belum ada kriteria KRIS yang menyinggung sisi medis. Ini berarti KRIS hanya membahas kriteria non medis. Sesuatu yang seharusnya dibutuhkan pasien, kenyamanan lebih penting dari keselamatan?

Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) meminta pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan KRIS. Hal itu menjadi salah satu rekomendasi PERSI yang merujuk dari hasil survei kesiapan RS. PERSI juga mengusulkan penambahan dua kriteria yaitu akses dokter dan obat.

Jamkeswatch menilai tidak ada urgensitas pada pelaksanaan KRIS. Saat ini KRIS juga bukanlah solusi tepat dalam memperbaiki mutu pelayanan dan memperbaiki sistem pelayanan program JKN. Prinsip ekuitas bukanlah tentang fasilitas tetapi lebih ke arah “pelayanan” sesuai indikasi medis. Kata “standar” juga bukan berarti menjadi tunggal, tetapi masing-masing kelas mempunyai “standar masing-masing”.

Pelaksanaan KRIS yang direncanakan mulai tahun 2023, terkesan dipaksakan dan justru berpotensi menimbulkan masalah baru lagi. Untuk pembahasan lebih jauh soal KRIS, dapat dibaca di link ini https://www.koranperdjoeangan.com/membedah-kelas-standar-bpjs-kesehatan-layakkah-diterapkan/

Di tahun 2022 juga, dunia kesehatan digegerkan dengan wacana RUU Omnibus Law Kesehatan, yang akan merubah 15 Undang-undang terkait profesi dan kesehatan menjadi satu kesatuan. Masyarakat dan praktisi dunia kesehatan pun dibuat resah dan bimbang.

Bagaimana tidak, banyak pihak menuding dalam proses penyusunannya tidak transparan dan tidak partisipatif sama sekali. Selain itu dalam RUU Omnibus Law Kesehatan terjadi sentralisasi pengaturan kewenangan dan pemangkasan peran organisasi profesi. Akankah Konsil Kesehatan dan organisasi profesi seperti IDI, PDGI, dll, dibubarkan?

Seperti halnya KRIS, Jamkeswatch juga bersikap keras menolak RUU Omnibus Law Kesehatan. Selain tidak ada urgensi, draft yang tidak jelas, naskah akademik yang terkesan copy paste, RUU ini juga mengarah pada liberalisasi dan kapitalitas sistem kesehatan. Pembelajaran pada proses lahirnya UU Cipta Kerja, seolah kembali terpampang. Penolakan juga dilakukan oleh asosiasi dan organisasi profesi.

BPJS Kesehatan selaku penyelenggara Jaminan Kesehatan sangat rawan terseret dalam pusaran sistem dan menjadi alat kapitalisme. Banyak isu tidak bertanggungjawab yang beredar di masyarakat namun tidak ada penjelasan, seperti isu BPJS Kesehatan dibawah Kemenkes, isu revisi UU SJSN dan UU BPJS, isu dikuranginya APBN untuk PBI dan lain sebagainya.

Pada tahun 2023 ini, perkembangan sistem dan birokrasi akan menjadi tantangan berat implementasi JKN. Tidak hanya sistem dalam dunia kesehatan, namun juga sistem digitalisasi, sistem ekonomi global, harmonisasi regulasi serta sistem politik yang kian memanas menuju kontestasi pilpres.

Akankah BPJS Kesehatan menjadi lebih baik ataukah stagnan? Akankah BPJS Kesehatan alat kesejahteraan ataukah menjadi alat kekuasaan? Akankah Jaminan Sosial sebagai safety net berjalan mundur atau berputar balik dari tujuannya? Karena tidak ada sistem yang sempurna, maka seluruh warga negara wajib menjaga, mengupayakan dan mengarahkannya program JKN.

Salam kawal JKN,
Salam sehat hak rakyat,
10 Januari 2023

 

Catatan ini dibuat sebagai pengingat dan penyemangat sehingga kesejahteraan dan keadilan sosial terwujud di negeri yang kita cintai ini. Kesempurnaan milik Tuhan SWT, kekurangan pantas dimiliki pribadi penulis.