Jakarta, KPonline – Viral di berbagai platform media sosial kaos bertuliskan “Boycott China” terjual laris manis di pasar Amerika Serikat (AS). Bayangkan Anda membeli kaos bertuliskan “Boycott China” sebagai bentuk protes terhadap dominasi ekonomi China. Anda memakainya dengan bangga, merasa sudah menyuarakan aspirasi politik. Tapi tahukah Anda, kaos itu diproduksi di China?
Ironi seperti ini bukan sekedar lucu, tapi menjadi bukti betapa lihainya strategi dagang Negeri Tirai Bambu dalam mengubah konflik menjadi peluang.
Tak hanya itu, topi merah bertuliskan “Make America Great Again” (MAGA) ikon kampanye Presiden Donald Trump yang terkenal dengan slogan “America First” ternyata juga sebagian besar diproduksi oleh pabrik-pabrik di China. Ya, China memproduksi alat kampanye yang seharusnya mempromosikan produk lokal Amerika Serikat.
Inilah yang disebut bisnis tingkat dewa. Di saat banyak negara menyatukan konflik ideologi dan politik, China justru mengambil jalan pragmatis, menjadikan konflik sebagai sumber cuan. Mereka menyampaikan kritik kepada dunia, dan dunia tetap mengakuinya.
Berdasarkan laporan South China Morning Post, sejak 2019, pabrik-pabrik di Provinsi Guangdong dan Zhejiang mengalami aktivitas pesanan hingga 30–40% untuk kaos bertuliskan slogan anti-China. Biaya produksinya hanya sekitar $1,50–$2 per kaos, tetapi dijual ke pasar Amerika Serikat seharga $10. Artinya, ada margin keuntungan 400% untuk barang yang terang-terangan mengecam negara pembuatnya.
Sementara itu, data dari Washington Post menunjukkan bahwa lebih dari 90% topi MAGA juga diproduksi di China, dengan biaya sekitar $1 per unit, lalu dijual seharga $25. Dengan margin keuntungan hingga 2.500%, tidak heran bila pabrik-pabrik China tetap meraup keuntungan meskipun Presiden Trump menaikkan tarif impor hingga 25%.
Apa yang terjadi ini menjadi contoh nyata dari paradoks globalisasi. Dunia boleh saja terpecah secara ideologis dan politik, namun ekonomi tetap berjalan dengan logika yang berbeda. Konsumen membeli berdasarkan harga, kecepatan produksi, dan aksesibilitas bukan ideologi.
Survei YouGov tahun 2020 menyebutkan bahwa 60% konsumen AS membeli produk dengan pesan politik sebagai ekspresi pribadi. Namun hanya 35% yang benar-benar memperhatikan asal-usul produk tersebut. Artinya, selama produk cepat tersedia dan harganya terjangkau, sebagian besar konsumen tidak peduli apakah kaos “Boikot China” dibuat di Beijing atau Boston.
Fenomena ini membuka mata kita dalam dunia bisnis modern, konflik bukan lagi halangan. Justru, bagi mereka yang cerdas dan cepat, konflik bisa diolah menjadi komoditas bernilai tinggi. China menunjukkan bahwa sentimen negatif sekalipun bisa dijadikan sumber pemasukan. (Yanto)