Jakarta, KPonline – Berpuluh tahun aku di sini. Melangkahkan kaki puluhan kilo aku jalani.
Jiwaku terlanjur jatuh cinta pada mata anak-anak ini. Terlanjur rindu pada celoteh mulut mungil ini. Terlanjur bermanja bermain dengan kaki-kaki kecil anak ini.
Aku terlanjur menebar benih kecintaan pada dunia dengan mengabdi untuk memajukan pendidikan.
Entah apa sebutanku di sini. Tetapi yang pasti, saat ini aku dipanggil guru.
Tetapi esok aku tak tahu, anak-anakku…
Apakah aku masih bisa hadir atau tidak di sini? Apakah aku masih dibutuhkan apa tidak disini bersamamu?
Anakku, izinkan aku sejenak mengalihkan langkahku berjuang agar aku abadi disebut “guru”. Agar aku bisa terus bersamamu tanpa risau, anakku…
Semoga masih ada harapan yang bisa aku genggam tuk bekal bersenandung bersamamu.
Anakku, semoga kau tak mendengar genderang perang yang aku dan kawan-kawanku tabuh sekarang. Aku janji, esok kalau hari peperangan sudah usai, pasti aku petikkan dawai gitar dan kita akan bernyanyi bersama: “sorak sorak bergembira…”
Atau kau ingin aku menemanimu bermain congklak dan gobagsodor?
Aku tak akan patah semangat anakku. Karena aku terlanjur jatuh cinta di sini….
Disclaimer: Redaksi menerima tulisan ini dari seorang guru honorer dan menerbitkannya dengan sedikit revisi sebagai bentuk dukungan terhadap perjuangan guru honorer.