Suasana ruang sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pecah oleh suara tangis Siti Khotimah (24 tahun), saat Ketua Majelis Hakim hari itu, Senin 5 Juni 2023, memintanya maju ke depan untuk melihat selembar foto copy yang menunjukkan foto dirinya yang penuh bekas luka siksaan.
“Apakah betul ini kamu, Khotimah?” Tanya Bapak Majelis Hakim
Sejenak, ruang sidang hening, hingga pecah suara tangis Khotimah saat menjawab ‘iya’
“Sudah cukup, bapak Majelis Hakim” Teriak seorang perempuan paruh baya di sampingku. Namanya, Lita Anggraeni, seorang aktivis perempuan yang puluhan tahun memperjuangkan nasib PRT (Pekerja Rumah Tangga)
Sepanjang persidangan yang berlangsung sejak pukul 14:00 WIB hingga 16:30 WIB, kami yang menghadiri sidang dibuat terhenyak. Otot mata kadang tertarik meninggi dan kening berkerut, setiap cerita mengalir suara Khotimah yang lirih. Beberapa kali, kami harus menghela nafas seolah tercekat di tenggorokan. Beberapa terpaksa meninggalkan ruang sidang dan menunggu di luar seolah hendak memberi jeda pada setiap cerita siksaan yang tak terbayangkan banalnya. Ibunda Khotimah adalah salah satunya. Tak tahan mendengar putrinya kembali membuka cerita, membuat hatinya ngilu dan memutuskan menunggu di luar.
Bahaya Relasi Kuasa dan Belenggu Ketakutan yang Mematikan Solidaritas
Siti Khotimah, bekerja melalui penyalur yang kemudian menempatkannya bekerja pada Soka dan Metty di sebuah apartemen Simprung, Jakarta Selatan, antara April – Desember 2022. Selain Khotimah, terdapat 5 PRT lain yang bekerja bersamanya, dan satu anak dari Soka dan Metty, bernama Jen. Sebagai PRT, Khotimah bekerja membersihkan rumah, memasak untuk seluruh penghuni apartemen dan melayani pemberi kerja seperti memberikan lotion ke tubuhnya, menyiapkan makanan dan sebagainya.
Suatu hari, Khotimah dituduh mencuri celana dalam dan bra milik Metty. Akibatnya, Khotimah dihajar habis – habisan mulai dari dipukul, dijambak, dicakar payudaranya, dijedotin kepalanya ke tembok hingga dirantai dan dikurung di kandang anjing. Seharian, tanpa sehelai bajupun, Khotimah menahan lapar dan sakit, dirantai dan disekap di dalam kandang anjing.
Tak hanya Metty yang menyiksa Khotimah, 5 PRT yang lain pun turut menyiksa dengan dalih perintah atasan dan rasa takut menjadi sasaran amarah pemegang kuasa (Pemberi Kerja). Suami Metty, tak luput dari gairah untuk menyiksa Khotimah, dengan kedua tangannya ia menyundutkan rokok ke tubuh Khotimah hanya karena salah mendengar perintahnya untuk mengambilkan rol kabel. Kekejian itu terus berlangsung hingga Desember 2022. Tubuh Khotimah tak satupun luput dari jejak kebiadaban, mulai dari dibalur sambal di sekujur tubuh, kaki direndam air panas sampai melepuh, dipaksa makan kotoran anjing dan dirinya sendiri, kekerasan seksual (memasukkan benda asing ke alat kelamin korban), hingga dibakar dengan lilin sampai dipaksa bekerja dengan tubuh telanjang. Setelah dijemput oleh sang penyalur kerja, Khotimah harus dirawat empat bulan lamanya di sebuah Rumah Sakit. Anak muda asal kota Pemalang itu, selamat dari kematian, namun tubuh dan mentalnya tidak akan pernah lupa setiap jejak siksaan yang diperolehnya.
Dalam konteks penyiksaan, perbudakan dan penyekapan yang dilakukan secara beramai- ramai terdapat kelindan relasi kekuasaan total di tangan pemberi kerja dan keluarganya (Soka, Metty dan Jen), dimana mereka merasa berhak menyekap, menyiksa dan menahan upah Khotimah yang hanya sebesar Rp 2 juta/ bulan. Upah ini, hanya diterima satu kali oleh Khotimah dan tak sekalipun Khotimah menerima sebagian besar upahnya hingga ia dijemput pulang oleh sang penyalur kerja. Disekap tanpa uang sepeser pun, ketiadaan support system, bahkan dari sesama rekan kerja PRT, sudah lebih dari cukup untuk mematikan daya dan martabat manusia. Siapa yang tidak akan hancur berkeping bila dipaksa sendirian, dicerabut aksesnya dari dunia luar dan disiksa tanpa ampun?
Getar amarah memenuhi ruang sidang dan sepertinya tak memberi jeda untuk sekedar bernafas, saat para pelaku diberi kesempatan menanggapi kesaksian korban. Getir dan gemas memenuhi rongga dada, mendengar sesama PRT satu demi satu menyampaikan pernyataan maafnya yang tak tulus. Dengan dalih rasa takut, perintah atasan, mereka menyiksa rekan kerjanya sendiri. Rasa takut telah menciptakan monster dalam diri manusia yang mendorong mereka sama kejinya dengan pemilik kuasa. Benarlah apa yang disampaikan almarhum Munir “Bahaya terbesar adalah ketakutan dalam kepala kita. Ketakutan yang disebarkan sistem yang ada kepada kita. Ketakutan inilah rintangan terbesar dalam perjuangan.”
Ketakutan dalam kepala kelima PRT itu, bukan hanya menjadi rintangan terbesar dalam perjuangan, namun juga telah menjadi monster yang sama biadabnya dengan pemilik kuasa. Tentu saja, setiap manusia punya rasa takut. Takut kelaparan, takut tidak punya masa depan yang baik, takut miskin, takut ditindas. Namun, tidak sepatutnya manusia menghamba pada rasa takut hingga menjadi penindas demi mengamankan diri sendiri. Sungguh, sebuah kekejian bila dilakukan beramai – ramai, dibalut dengan kuasa dan rasa takut, telah menciptakan kepercayaan diri untuk menyiksa hingga membunuh sesamanya. Ia mematikan solidaritas dan kemanusiaan.
Jalannya Persidangan yang Tak Ramah Korban
Relasi kuasa itu terlihat pekat dalam ranah privat (rumah tangga) dan terlihat gamblang di ranah publik, tak terkecuali ruang persidangan yang katanya cukup sakral bagi para pencari keadilan serta penegak keadilan. Bias kelas dan gender terpatri bukan hanya pada para pelaku namun juga para pengacara pelaku, majelis hakim hingga jaksa penuntut yang cenderung pasif.
Beberapa kali, Lita Anggraeni mendahului majelis Hakim dan Jaksa Penuntut, melakukan protes keras, saat enam pengacara pelaku secara bergantian memberi pertanyaan berulang – ulang dan tidak sensitif pada korban. Berkali – kali pula seorang lelaki gagah berbalut seragam satpam maju ke arah Lita Anggraeni supaya duduk dan berhenti protes.
“Diam, duduk!” bentaknya, lebih garang dibanding Majelis Hakim di muka persidangan.
Tak hanya sekali, Ketua Majelis Hakim menasehati Khotimah supaya memaafkan para pelaku dan berlapang dada meski trauma, serta sebaiknya melupakannya sebagai masa lalu.
“Semoga kamu bisa memafkan ya, berlapang dada dan melupakan kejadian ini. Supaya nggak trauma lagi. Memang susah melupakan trauma” Ucap Majelis Hakim tersebut, seolah bijak namun nir empati.
Di hadapan yang mulia Ketua Majelis Hakim tersebut, duduk seorang perempuan muda korban penyiksaan, penyekapan, dengan kaki pincang yang masih berbalut perban. Ia dirawat di Rumah Sakit selama 4 bulan. Luka fisiknya belum pulih, pun luka mentalnya jauh lebih pilu lagi. Diminta memaafkan para pelaku yang hampir merenggut nyawanya, menghancurkan martabatnya. Apa hak Ketua Majelis Hakim, merubah tempat peradilan bagi korban memperjuangkan rasa keadilannya menjadi ruang menghakimi moralitas korban yang ‘tidak pemaaf’.
Sementara, dua jaksa penuntut tampak pasif tanpa sedikitpun melontarkan keberatan kepada setiap ucapan dari pengacara pelaku maupun Majelis Hakim yang tak sensitif terhadap korban.
“Seharusnya, UU TPKS diterapkan pada kasus Khotimah karena terjadi kekerasan seksual tapi ditolak polisi” Ucap Lita Anggraeni kesal.
“Kenapa?” tanyaku lirih
“Karena motifnya bukan seksual”
Ah, memang demikian kebenaran dan keadilan itu, harus diperjuangkan agar menjadi benar.
“Saya meminta maaf kepada korban” Ucap Meti dalam persidangan, sambil kemudian membantah tidak ada sundutan rokok yang dilakukan para pelaku. Pernyataan senada diikuti oleh semua pelaku baik Soka, Jen maupun para PRT sebagai pelaku, kecuali Pariyah, salah satu PRT yang mengaku tidak tahu tentang sundutan rokok.
“Saya minta maaf ya Imah, saya minta maaf. Lalu kalau soal sundutan rokok, saya benar – benar tidak tahu” Ucap Pariyah atau dipanggil Ria.
Di ruang sidang peradilan, kami menyaksikan bagaimana para pelaku menyampaikan maaf sekaligus pembenaran bukan untuk seorang Khotimah, tapi supaya hukuman mereka diringankan. Di sisi lain, korban dibujuk supaya memaafkan dan melupakan kejadian biadab dalam hidupnya itu.
Setelah sidang usai, kami masih dipenuhi dengan rasa sesak, sekaligus tekad darah juang seorang Khotimah tak boleh mendingin, ia harus terus mendidih hingga rasa keadilan didapat.