Jakarta, KPonline – Saya sedih mendengar keputusan Anies+Sandi untuk tidak memenuhi tuntutan kenaikan Upah Minimum Buruh DKI Jakarta. Semoga belum final, dan masih akan dipertimbangkan lagi.
Khotbah Jumat tadi menyinggung soal mereka yang diputus masuk neraka. Mereka mohon kepada Allah agar diberi kesempatan kembali ke dunia guna memperbaiki diri. Kemudian khotbahnya menyinggung mereka yang membela Islam dan kebenaran serta menyeru kepada keadilan, tapi berakhir di penjara.
Tentulah yang dimaksud adalah perilaku Rezim Kita sekarang ini, sekalipun tidak menyebut nama. Satu-dua detik aku teringat waktu di Polda.
Aku masih bisa makan dari Kantin, sengaja menghindari makanan dari Polda. Meskipun kelas Warung Tegal, sepuluh ribuan, agar tidak membebani keluarga. Tapi hatiku tenang, makan, minum, tidur, tidak terlalu memikirkan persoalan sehari-hari dan Negara.
Tapi Buruh kita… yang hanya minta agar naik upah minimumnya menjadi 3,750,000, terbilang tiga juta tujuh ratus limapuluh ribu Rupiah sebulan dengan istrri dan dua anak. Ditambah mikiri anak sakit, anak sekolah, listrik mati, air habis, biaya angkot naik… seribu satu persoalan lain… Sepertinya hidupku di penjara kemarin lebih nyaman!
Itu upah nominal belum digerogoti inflasi… riilnya lebih kecil. Baru minggu lalu saya mengajarkan bab Supply-Demand of Inputs, dengan mengambil contoh Labor/Buruh… Lalu berlanjut ke Supply-Demand Aggregate. Tentu tidak melupakan Productivity of Labor dan Unemployment.
Intinya saya memberitahu kenapa GDP per kapita Indonesia kecil… karena faktor Upah Buruh dan Teknologi yg tidak memungkinkan Supply Side kita bergerak “ke kanan” memperbesar GDP. Sri Mulyani, kata saya, hanya bekerja di Sisi Demand, sehingga hanya unsur Government Expenditure dan Money Supply yang dioprak-oprak… Dan untuk itu, Pajak (dan Non-Pajak) harus ditingkatkan untuk menambah Penerimaan Negara… Itu sesudah Tax Amnesty gagal total!
Memang, untuk menggerakkan Sisi Supply “ke kanan”, Upah Buruh dibikin rendah… Pak Harto menggunakan Teori itu boleh saja pada awalnya… maklum kita baru belajar membangun. Tapi, sesudah nilai tambah terbentuk dan GDP naik, Upah Buruh juga harus naik. Keuntungan dibagikan kepada buruh, tidak dimakan sendiri oleh Pengusaha. Di negara-negara maju dipakai teori ini, sebab dengan upah naik, produktivitas buruh juga naik lebih besar, sehingga Upah Besar itu terasa MURAH.
Di negara-negara maju itu, kesejahteraan Tenaga Kerja memang ditingkatkan dan dinomorsatukan. Sedang untuk mempertahankan agar Supply Side tetap bergerak “ke kanan”, yang dipaksa menjadi penggeraknya adalah Teknologi: Teknologi Swasta (Applied Technology) dan Teknologi Institusi Pendidikan (Basic Technology). Teknologi ini pun Sumberdaya Manusia sebagai penggeraknya (prime mover). Mereka berhasil.
Sdr Anies-Sandi bisa membaca data BPS tentang Kebutuhan Hidup kita untuk menetapkan berapa Upah Minimum Buruh. Angka 3,750 itu terlalu kecil… Itu gaji yang menyengsarakan…! Lihatlah perusahaan-perusahaan Asing di Jakarta sebagai pembanding. Periksa juga Profit & Loss Statement perusahaan-perusahaan kita. Lihatlah GAJI para Pengusaha dan keluarganya yg duduk di dalam Menejemen. Kesimpulannya, para Menejemen itu dibayar terlalu BESAR… ada diskriminasi yang terlalu besar, terlalu kentara, dan mestinya dilarang!
Kebanyakan Pengusaha dan Menejemen mereka bukan Pribumi. Yang Pribumi menjadi pekerja kasar dan jongos. Anak-anak para Non-Pri yang menjadi Pengusaha dan Menejemen itu semua bisa dikirim belajar ke luar negeri. Sedang pekerja kita tetap menjadi Kuli… anak-anak mereka telantar. Sistim Pengupahan kita mirip dengan sistim di mada penjajahan.
Sudah saatnya hidup para Buruh kita diperbaiki. Agar bisa menjadi Tuan Di Negeri Sendiri. Bagaimana mereka mau mengangsur rumah yang Anda janjikan, kalau untuk hidup saja tidak cukup. Buatlah Program Pengupahan yang lebih baik, seiring dengan Program Perumahan murah bagi mereka. Keduanya harus selaras.
Periksa juga kalau ada Cina-cina Asing RRC yg bekerja di DKI… Periksa Gaji mereka… kabarnya mencapai 15 jutaan. Jauh beda, bukan?!
Semoga Sukses
@SBP
3/11/17