Dalam beberapa tahun terakhir, demonstrasi buruh sering kali disalahartikan sebagai aksi yang tidak relevan, dianggap sekadar “demo politik” yang hanya mengganggu jalannya produksi di pabrik-pabrik. Narasi ini seringkali merendahkan esensi perjuangan buruh dan menempatkan tanggung jawab sepenuhnya pada mereka atas kerugian yang dialami pabrik atau perusahaan. Namun, argumen ini mengabaikan beberapa aspek fundamental yang harus dipahami, terutama ketika menyangkut hubungan antara buruh dan pengusaha, serta dampak kebijakan pemerintah yang berpengaruh langsung pada kehidupan para pekerja.
Pertama-tama, penting untuk dipahami bahwa demo buruh yang mengangkat tema politik tidak terpisah dari perjuangan hak-hak buruh itu sendiri. Isu politik yang diusung dalam demo, seperti penolakan terhadap Omnibus Law atau kebijakan upah minimum, bukanlah sekadar “tema politik” yang tidak terkait dengan kehidupan buruh. Sebaliknya, kebijakan-kebijakan ini memiliki dampak nyata terhadap kesejahteraan buruh.
Omnibus Law, misalnya, mengubah aturan ketenagakerjaan dengan cara yang merugikan buruh, seperti melemahkan perlindungan hukum bagi pekerja kontrak dan outsourcing, serta menurunkan standar kompensasi bagi pekerja yang terkena PHK. Inilah sebabnya mengapa banyak demonstrasi buruh yang fokus pada kebijakan-kebijakan pemerintah—karena kebijakan tersebut mempengaruhi hak-hak buruh secara langsung.
Kritikan bahwa buruh “hanya berdemo politik” juga sering diiringi dengan tuduhan bahwa para buruh malas berinovasi atau tidak mau “naik kelas” menjadi pengusaha. Pendapat ini menunjukkan kesalahpahaman yang mendalam tentang posisi buruh dalam rantai produksi. Tidak semua orang memiliki modal, koneksi, atau akses ke pendidikan yang memungkinkan mereka dengan mudah beralih menjadi pengusaha.
Buruh bukan hanya pekerja biasa; mereka adalah orang-orang yang mendukung roda ekonomi, tetapi terperangkap dalam sistem yang tidak selalu memberikan peluang yang adil. Sebaliknya, mereka sering terjebak dalam sistem upah murah dan eksploitasi yang membuat sulit bagi mereka untuk meningkatkan kesejahteraan.
Hal ini berkaitan dengan argumen “simbiosis mutualisme” yang sering didengungkan, yaitu bahwa buruh dan pengusaha saling membutuhkan dan harus bekerja sama. Tentu saja, hubungan antara buruh dan pengusaha seharusnya idealnya bersifat saling menguntungkan. Buruh memberikan tenaga kerja mereka untuk menghasilkan produk atau jasa, sementara pengusaha menyediakan pekerjaan dan gaji sebagai imbalan. Namun, dalam praktiknya, hubungan ini sering kali tidak setara.
Pengusaha, terutama yang memiliki kekuatan besar, seringkali memiliki kendali lebih besar atas kebijakan kerja, kondisi kerja, dan upah yang ditetapkan, sementara buruh memiliki sedikit ruang untuk bernegosiasi. Itulah mengapa serikat buruh dan aksi demo menjadi salah satu cara utama bagi buruh untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
Penting untuk menyoroti bahwa banyak buruh yang berdemo bukan karena “bosan dengan UMR,” tetapi karena UMR yang diterima tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup layak mereka. Dalam beberapa tahun terakhir, kenaikan harga kebutuhan pokok, biaya pendidikan, dan layanan kesehatan jauh melampaui kenaikan UMR. Hal ini membuat banyak buruh tetap terjebak dalam siklus kemiskinan meskipun mereka bekerja penuh waktu. Dalam konteks ini, demonstrasi menjadi sarana untuk menuntut perhatian pada masalah struktural yang dihadapi para buruh, termasuk perlunya upah layak yang sebanding dengan biaya hidup yang terus meningkat.
Selain itu, penting untuk memahami bahwa perjuangan buruh melalui demo tidak selalu merugikan perusahaan dalam jangka panjang. Banyak contoh di mana keberhasilan negosiasi antara buruh dan pengusaha, yang didorong oleh aksi demo, justru menghasilkan kondisi kerja yang lebih baik, dan pada akhirnya meningkatkan produktivitas serta loyalitas pekerja terhadap perusahaan. Jika buruh merasa dihargai, diperlakukan adil, dan diberi upah yang layak, mereka akan lebih termotivasi untuk bekerja secara produktif. Ini adalah investasi jangka panjang bagi perusahaan, yang justru dapat mengurangi pergantian karyawan dan meningkatkan kualitas hasil kerja.
Di sisi lain, ketika buruh diabaikan dan tidak memiliki saluran untuk menyampaikan keluh kesah mereka, ketidakpuasan dapat membangun tekanan yang lebih besar, yang pada akhirnya dapat merugikan perusahaan. Sebaliknya, perusahaan yang mendukung serikat buruh dan memfasilitasi dialog terbuka dengan para pekerja akan menciptakan suasana kerja yang lebih sehat dan harmonis.
Untuk itu, menganggap bahwa buruh sebaiknya “naik kelas” menjadi pengusaha bukanlah solusi yang realistis atau adil. Tidak semua buruh memiliki akses yang sama terhadap kesempatan tersebut, dan tidak seharusnya semua orang dipaksa menjadi pengusaha. Sebaliknya, yang lebih penting adalah menciptakan lingkungan kerja yang adil di mana setiap buruh mendapatkan hak-haknya, termasuk upah yang layak, jaminan sosial, dan kondisi kerja yang aman. Serikat buruh dan aksi demo adalah bagian dari perjuangan ini, bukan sekadar alat untuk mengganggu atau mempolitisasi isu.