Jakarta, KPonline – Dalam siaran persnya kemarin, PLN memastikan ketersediaan pasokan listrik, tetap terjaga. Pernyataan ini disampaikan pada Minggu, 22 Maret 2020 lalu. Dalam siaran pers tersebut, Zulkifli Zaini, Dirut PLN menyatakan bahwa Pegawai PLN yang bertugas pada unit-unit Pengatur Beban, Transmisi, Distribusi, Pembangkit (Control Room dan Dispatcher Room), Call Center 123, Command Center, dan Posko Pelayanan Teknik, tetap di siagakan. Sehingga pelayanan listrik kepada pelanggan tetap terjaga maksimal. PLN menjadikan ketersediaan listrik kepada masyarakat sebagai prioritas layanan terpenting yang harus dijaga.
Lalu bagaimana proteksi PLN terhadap pekerjanya yang berinteraksi sosial secara fisik dalam menunaikan tugasnya itu?
Unit-unit kerja di PLN seperti di Posko Pelayanan Teknik (Yantek) dan juga kWh meter adalah unit kerja di garda terdepan PLN yang berkewajiban memastikan secara langsung layanan PLN bagi pelanggannya. Ada potensi dan aktifitas interaksi langsung secara fisik antara pekerja di unit kerja itu dengan pelanggan listrik PLN di seluruh pelosok tanah air.
Meski pekerja-pekerja di unit kerja itu msh dikontra-opini oleh PLN sebagai pekerjaan non core, faktanya, kini, unit kerja itu dinyatakan sebagai bagian dari pegawai PLN di atas.
Di Posko Pelayanan Teknik, pekerja Yantek PLN bertugas. Pekerja Yantek ini berfungsi sebagai tenaga teknis yang memastikan kelancaran distribusi listrik PLN ke rumah-rumah pelanggan tanpa hambatan. “Simpul” gangguan yang biasanya ada di gardu-gardu, kabel dan tiang listrik hingga ke instalasi terpasang di rumah pelanggan menjadi tugas harian kerjanya untuk bisa teratasi. Secara intensif, dalam waktu 24 jam, pekerja Yantek ini, menjaganya sehingga aliran listrik, tetap menyala.
Di sisi lain, ada pekerja administratif lapangan, Pekerja kWh meter, yang melakukan pencatatan ataupun penagihan atas sejumlah daya listrik yang terpakai oleh pelanggan. Kelangsungan pendapatan PLN ikut bertumpu disini. Mereka dibebani target pendataan di sejumlah puluhan ribu pelanggan dari puluhan kecamatan di setiap bulannya
Di situasi bencana wabah corona saat ini, unit-unit kerja tersebut, tampaknya masih ada yang bekerja layaknya dalam kondisi normal. Di sebagian besar wilayah provinsi masih berlaku jam kerja penuh waktu, sistem kerja shif tetap berjalan serta dengan alat pelindung diri (APD) yang juga masih memerlukan perhatian kelengkapan dan ketersediaannya di Posko Layanan PLN di berbagai pelosok daerah. APD dimaksud, masih berkenaan dengan pelaksanaan tugas pokok kesehariannya saja, bukan untuk kesiapan menghadapi wabah virus corona saat ini.
Bagi keduanya, baik Pekerja Yantek dan Pekerja kWh meter, protokol kesehatan maupun perlindungan diri ketika bekerja di tengah wabah, belum dipersiapkan secara baik di tempat kerja.
Berdasarkan aduan yang masuk ke GEBERBUMN, pekerja-pekerja itu belum dibekali dan ditunjang petunjuk manual dan alat pelindungan diri (masker dan handsanityzer) dalam melaksanakan tugasnya.
Padahal, daya jelajah kerjanya mampu menjangkau satu wilayah ke wilayah lainnya. Dari wilayah epidemi corona berzona hijau atau kuning hingga ke zona merah. Daya jelajah kerja ini, berlangsung secara cepat, berpindah wilayah (area) dalam hitungan waktu jam dan hari saja, serta saling bergantian antar pekerja. Patut diketahui pula oleh publik, keberadaan mereka tersebar di unit-unit kerja di tingkat perkotaan sampai ke kecamatan dan desa.
Tetapi, dalam keseharian kerjanya itu, pekerja di garda terdepan layanan PLN ini, menghadapi ancaman wabah secara individual, tidak didukung oleh protokol dan alat kesehatan yang memadai. Padahal, kondisi ini bisa menjadi kerugian bagi negara dalam mengatasi dampak penyebaran wabah corona.
GEBERBUMN menerima aduan mereka dari berbagai wilayah di Indonesia. Jawa Tengah (Soloraya dan Semarang), Sumbar (UP3 Bukittinggi. UP3 Solok. UP3 Payakumbuh. UP3 Padang), Riau (Yantek region 6), Sulteng (Wialayah VII Sulutenggo) hingga ke Sulut (Kota Manado). Mereka mengeluhkan minim dan kurangnya dukungan pelindungan diri (alat dan protokol kesehatan) dari paparan wabah corona.
Untuk daerah tertentu lainnya seperti Jakarta dan Bali, upaya antisipatif terhadap wabah corona relatif lebih memadai tapi masih perlu perhatian dan pengawalan untuk konsistensi ketersediaan APD nya.
Menunjuk ke SE Menaker No M/3/HK.04/III/2020 tentang Pelindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan COVID-19 pada butir I.4 dan I.5 menegaskan akan keharusan (memerintahkan) adanya langkah antisipatif dari pimpinan perusahaan dalam bentuk tindakan pencegahan terintegrasi dengan K3 serta pembuatan rencana kesiapsiagaan tethadap pandemi COVID-19 guna memperkecil risiko penularannya.
Bahkan di SE ini juga membuka ruang opsi pembatasan kegiatan usaha seiring adanya kebijakan pemerintahan daerah yang menyebabkan kegiatan bekerja dan berusaha berhenti sebagaian ataupun seluruhnya, maka aspek pengupahan pun tetap dilindungi.
Dalam konteks SE itu, aspek kesehatan dan keselamatan kerja, tampaknya belum menjadi perhatian maksimal masi
di unit kerja diatas. Dan mitigasi risikonya pun belum dipersiapkan secara matang.
Dalam jangkauan wilayah terdampak corona, para pekerja khawatir akan paparan wabah. Sementara untuk penugasannya, wajib terlaksana. Dan pelindungan diri pun terkadang dipaksa mandiri dan seadanya.
Jika demikian, bagi PLN, listrik dijaga, namun pekerjanya rentan terpapar wabah corona.
Lalu, dimana ‘kehadiran’ Negara?
Karenanya, GEBERBUMN mendesak perhatian Pemerintah dan seluruh BUMN untuk bisa memastikan ketersediaan alat pelindung diri (APD) bagi keselamatan pekerja dan melakukan penyesuaian dan pembatasan kegiatan kerja dan usaha dengan tetap menjaga aspek pengupahannya.
Patut ditelusuri secara lebih jauh, GEBERBUMN menduga, keadaan serupa bisa juga terjadi di pekerja-pekerja lapangan lainnya seperti di RU-RU (Rafinery Unit) PERTAMINA, PELABUHAN (PELINDO), TELEKOMUNIKASI, serta sektor-sektor BUMN publik service lainnya.